Wednesday, 4 January 2017

Inilah Tempat Turunnya Nabi Isa dan 7 Ciri Kedatangannya








Nabi Isa Alaihissalam -- yang oleh orang Nasrani disebut Yesus -- menjadi bahan kontroversi antara Islam, Nasrani, dan Yahudi. Orang Yahudi mempercayai bahwa mereka telah membunuh Isa, dan orang-orang Nasrani meyakini bahwa Isa telah disalib dan dikubur.

Namun, kaum Muslimin meyakini dengan jelas dan tegas bahwa Nabi Isa tidak disalib atau dibunuh, melainkan 'diangkat' oleh Allah SWT. Nabi Isa akan kembali ke dunia, di suatu masa, di akhir zaman.

Nabi Isa Alaihissalam adalah salah seorang dari lima nabi dan rasul yang diberi gelar 'Ulul Azmi, yakni memiliki sejumlah keistimewaan. Kelima nabi dan rasul yang mendapat gelar itu adalah Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad SAW.

''Ada 33 hadis shahih yang menegaskan bahwa Nabi Isa akan kembali turun ke bumi. Bahkan, ada yang mengatakan sampai 90 hadis,'' tutur Dr Muslih A Karim, dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada sebuah kesempatan.

Dia lalu menyebutkan, ada tujuh ciri kedatangan kembali Nabi Isa:

Pertama, Nabi Isa akan turun di Menara Putih, yakni Masjid Bani Umayyah di Damaskus Timur.
Kedua, Isa akan membunuh Dajjal (gembong penjahat yang mengaku sebagai penyelamat) di Dataran Tinggi Golan (Syria).
Ketiga, Isa akan bertemu Ya'juz dan Ma'juz, dan semua tokoh jahat dan pengikutnya itu akan tewas.
Keempat, Isa akan mendakwahkan agama Tauhid seperti yang dibawa oleh Nabi Muhammad maupun nabi-nabi lain sebelumnya.
Kelima, Isa akan melakukan haji dan umrah.
Keenam, Isa datang, dunia penuh keberkahan. Misalnya, sebutir buah delima bisa membuat 40 orang kenyang.
Ketujuh, setelah Isa datang, selama tujuh tahun kondisi dunia sangat aman.

''Intinya, Nabi Isa sekarang ini belum meninggal. Dia akan turun lagi di akhir zaman untuk menegakkan Islam,'' ungkap Muslih.

Tempat Turunnya Nabi Isa AS

Sejak dilahirkan, Isa sudah memiliki keistimewaan (mukjizat), yakni bisa berbicara sejak dalam buaian (QS Ali Imran [3]:46, Almaidah [5]:110, Maryam [19]:29-33), menghidupkan orang mati dengan izin Allah, menciptakan burung dari tanah, menyembuhkan orang buta, sakit sopak (kusta) (lihat QS Ali Imran [3]:49), dan menyuguhkan hidangan dari langit (Almaidah [4]:114). Selain itu, Allah SWT juga memberikan padanya sebuah kitab suci, yakni Injil (QS Almaidah [5]:46).

Saat muncul rencana jahat dari kaum Bani Israil (Yahudi) yang bermaksud membunuhnya, Allah SWT kemudian menyelamatkannya dengan mengangkatnya ke langit. Orang yang dibunuh oleh Yahudi itu adalah orang yang diserupakan dengan Isa. Yang dibunuh tersebut adalah pengikut Isa yang telah berkhianat, yakni Yudas Iskariot.

''Dan, karena ucapan mereka, 'Sesungguhnya, kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra Maryam, rasul Allah,' padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya, orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka. Mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa.'' (Annisaa' [5]: 157).

Isa diselamatkan oleh Allah dengan jalan diangkat ke langit dan ditempatkan di suatu tempat yang hanya Allah SWT yang tahu tentang hal ini. Alquran menjelaskan peristiwa penyelamatan ini.

''Tetapi, (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan, adalah Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Annisaa' [5]:158).


Tuesday, 3 January 2017

Mengikuti Madzhab Tertentu, Haruskah?

Mengikuti Madzhab Tertentu, Haruskah?























MENGIKUTI madzhab fiqih tertentu, haruskah? Sebelum menjawab pertanyaaan tersebut perlu kita mengetahui sejatinya apa sebenarnya makna madzhab itu. Imam Al Mahalli menyatakan, bahwa madzhab adalah apa-apa yang dipilih oleh Imam As Syafi’i dan para pengikutnya terhadap hukum dalam berbagai masalah, sebagaimana disebutkan Imam Al Mahalli dalam Syarh beliau terhadap Al Minhaj. (lihat, Hasyiyatani Qalyubi wa Umairah, 1/7)


Dengan definisi di atas, jika disebut misalnya, “madzhab As Syafi’i”, maka yang dimaksud tidak hanya mencakup pendapat Imam As Syafi’i, namun juga pendapat para ulama mu’tabar pengikutnya.


Jika madzhab adalah produk berupa pendapat-pendapat hukum, tentu madzhab juga memiliki ushul (pijakan) atau dalil serta metodologi. Dimana dengan keduanya, maka terciptalah produk berupa pendapat-pendapat fiqih. Dan seluruh madzhab sepakat bahwa ushul adalah Al Qur`an, As Sunnah, ijma dan qiyas dan ada perbedaan pendapat mengenai penggunaan perkataan shahabat, amal ahli madinah, istihsan, mashalih mursalah dan istishab. Demikian pula dalam hal metodologi “pengolahan” dalil, masing-masing madzhab memiliki ciri khas satu sama lain. Jika diandaikan bahwa madzhab adalah menu yang siap dikonsumsi yang berupa pandangan fiqih yang sudah matang, maka perlu adanya bahan untuk menu itu yang disebut ushul atau dalil, juga metodologi memasaknya. Seperti itulah gambar singkat mengenai apa itu madzhab fiqih.


Dengan gambaran tersebut, sejatinya mengikuti salah satu madzhab fiqih merupakan bentuk konsistensi terhadap ushul atau dalil juga terhadap metodologi, meski terkadang menghasilkan produk berbeda karena perbedaan tingkatan kemampuan yang menyebabkan terjadinya khilaf pendapat dalam satu madzhab.


Jika demikian, maka pertanyaan apakah seseorang itu harus mengikuti madzhab tertentu, sama dengan pertanyaan apakah seseorang itu harus konsisten mengikuti dalil atau ushul serta metodologi terntentu dalam mengambil kesimpulan dari dalil itu. Jadi haruskah seseorang itu konsisten? Dengan menjawab ini maka kita temukan jawaban pertanyaan “haruskah mengikuti madzhab tertentu dalam fiqih?”


Varian dalam Bermadzhab


Dalam realita, sejak masa salaf (madzhab-madzhab fiqih di masa salaf akan dibahas di kesempatan lain) hingga kini ulama mu’tabar hanya terbagi menjadi dua, yakni ulama mujtahid muthlak pengasas madzhab kemudian ulama mengikuti madzhab mujtahid.


Mujtahid Muthlaq


Mereka yang memperoleh tingkatan paling tinggi dalam dunia keilmuan, khususnya berkenaan dengan syariat disebut sebagai mujtahid mutlak, atau mufti mustaqil (independen) Artinya, tidak terikat dengan madzhab. Bahkan mujtahid inilah perintis madzhab. Mereka tidak hanya memiliki produk pemikiran yang berupa fiqih, tapi mereka juga menciptakan metode dalam menggali hukum-hukum syariat dari dalilnya. Orang-orang khusus ini semisal Imam Madzhab 4 serta ulama mujtahid mutlak lainnya, semisal Al Auza’i, At Tsauri, Al Laits juga 4 al Khulafa’ ar Rasyidun.


Mujtahid Madzhab


Selanjutnya tingkatan di bawah mujathid mutlak adalah mujtahid madzhab atau mujtahid mutlak ghairu mustaqil (tidak independen), yakni ulama yang tidak taqlid kepada imamnya, baik dalam pendapat atau dalilnya namun tetap menisbatkan kepada imam karena masih mengikuti metode ijithad imam. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, 1/72)


Dalam tingkatan ini, mulailah ulama itu bermadzhab pada madzhab mujtahid tertentu, hanya saja dengan cara konsisten kepada ushul dan metodologi yang ditetapkan imam madzhab, namun untuk masalah hasil, kadang bisa berbeda dengan imam. Merekalah yang dilarang taklid terhadap hasil ijtihad imam. Pada ulama derajat inilah diterapkan perkataan imam madzhab “hadits shahih adalah madzhabku” (baca, “Hadits Shahih Madzhabku”, Ditujukan kepada Mujtahid, juga :Hadits Shahih Madzhabku, Bukan untuk yang Belajar dari Terjemahan)


Ulama Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah Imam Al Muzani dan Al Buwaithi. Di kalangan muta’akhirin Imam As Suyuthi juga mengaku sampai pada derajat ini (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)


Dalam madzhab Hanafi, ulama yang sampai dalam tingkatan ini adalah Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan yang merupakan murid Imam Abu Hanifah. (lihat, Syarh ‘Ala Jami’ As Shaghir Al Laknawi, 1/7)


Dalam madzhab Maliki ulama yang sampai pada derajat ini adalah Imam Ibnu Qasim dan Asyhab. (lihat, Nail Ibtihaj, hal. 441)


Dalam Madzhab Hanbali yang menyatakan sampai pada derajat ini adalah Qadhi Abu Ali Al Hasyimi juga Qadhi Abu Ya’la. (lihat, Sifat Al Fatwa, Ibnu Hamdan, hal. 17)


Ashab Al Wujuh


Di bawah para ulama mujtahid madzhab ada ulama ashab al wujuh, yakni mereka yang taqlid kepada imam dalam masalah syara’, baik dalam dalil maupun ushul Imam. Namun, mereka masih memiliki kemampuan untuk menentukan hukum yang belum disimpulkan imam dengan menyimpulkan dan menkiyaskan (takhrij) dari pendapat Imam, sebagaimana para mujtahid menentukannya dengan dalil. Biasanya mereka mencukupkan diri dengan dalil imam. (lihat Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)


Dari para ulama yang mencapai derajat ini adalah Imam Al Qaffal dan Imam Abu Hamid atau Ahmad bin Bisyr bin Amir, mufti Syafi’iyyah di Bashrah. (lihat, Mukhtashar Al Fawaid Al Makiyyah, hal.53)


Dalam madzhab Hanafi, Abu Bakr Al Jashas digolongkan dalam kelompok ini. (lihat, Syarh Al Laknawi li Al Jami’ As Shaghir, 8/1)


Mujtahid Tarjih


Golongan ini juga disebut sebagai mujtahid fatwa, termasuk para ulama yang tidak sampai pada derajat ashab al wujuh, namun menguasai madzhab imam dan dalilnya serta melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat dalam madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)


Perlu diketahui, dengan adanya mufti-mufti yang berada di atas tingkatan ini, dalam madzhab sudah banyak terjadi khilaf, baik antara imam dengan mujtahid madzhab juga disebabkan perbedaan kesimpulan para ashab al wujuh terhadap pendapat imam. Disinilah ulama pada tingkatan ini berperan untuk mentarjih. Namun tarjih masih dilakukan dalam ruang lingkup ulama dalam madzhab yang dianut, karena terikat dengan metodologi madzhab yang dipegang


Dalam madzhab As Syafi’i, mereka yang berada dalam tingkatan ini Imam Ar Rafi’i dan Imam An Nawawi (lihat, An Nihayah, hal. 7 dan Al Bughyah, hal. 7)


Mufti Muqallid


Tingkatan mufti dalam madzhab yang paling akhir adalah mereka yang menguasa madzhab baik untuk masalah yang sederhana maupun yang rumit. Namun tidak memiliki kemampuan seperti mufti-mufti di atasnya. Maka fatwa mufti yang demikian bisa dijadikan pijakan penukilannya tentang madzhab dari pendapat imam dan cabang-cabangnya yang berasal dari para mujtahid madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)


Ibnu Hajar Al Haitami, Imam Ar Ramli dalam madzhab As Syafi’i termasuk kelompok mufti muqallid, walau sebagian berpendapat bahwa mereka juga melakukan tarjih dalam beberapa masalah. (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)


Manusia Awam


Di atas adalah tingkatan kemampuan ulama yang memiliki otoritas dalam keilmuwan berkenaan dengan syariat, adapun untuk manusia awam, apakah harus terikat dengan madzhab tertentu? Pendapat yang shahih menurut An Nawawi dan Az Zarkasyi adalah tidak terikat dengan madzhab karena para sahabat tidak mengingkari kaum awam taklid siapa saja. (Bahr Muhith, 8/374)


Kita telah mengetahui tingkatan kemampuan para ulama mu’tabar seperti di atas dimana seluruhnya, kecuali mujtahid muthlaq mengikuti madzhab ulama mujtahid tertentu, dengan keistimewaan sesaui dengan kemampuannya.


Di Mana Posisi Kita?


Nah, ketika kita menilai bahwa kita harus konsisten terhadap dalil dan metodologi tertentu sebagaimana sikap para ulama mu’tabar, kita kemudian bisa mulai mengukur di mana posisi kita. Apakah kita sedang berada di posisi mujtahid muthlaq semisal Imam Abu Hanifah yang tidak terikat dengan madzhab mujtahid lain dan menyimpulkan nash-nash secara mandiri dengan metodologi sendiri? Atau mujtahid madzhab seperti Imam Al Buwaithi yang berijtihad dengan metode imamnya? Atau melakukan tarjih untuk pendapat dalam satu madzhab setingkat dengan Imam An Nawawi? Atau menguasai pendapat madzhab baik yang pelik maupun yang mudah namun dengan cara taklid seperti Imam Ar Ramli? Ataukah awam, yang memperoleh kemudahan untuk taklid siapa saja? Tentu, awam tidak memiliki otoritas dalam keilmuan, hanya menerima dari para ulama

.

Monday, 2 January 2017

Hasan Tiro Bak Mata Donja




By Fadhli Espece 

Judul diatas diambil dari salah satu karya Teungku Hasan Muhammad di Tiro (selanjutnya ditulis Hasan Tiro) yang paling fenemonal yakni Atjeh Bak Mata Donja yang berarti Aceh di Mata Dunia. Tulisan ini mencoba untuk melihat bagaimana kiprah dan sepak terjang Hasan Tiro sehingga ia menjadi sosok yang mendapat perhatian bak mata donja (di mata dunia).


Hasan Tiro adalah seorang nasionalis, nasionalis Indonesia tepatnya. Tapi itu dulu, ketika ia masih sabar menanti harapan besar pada republik Indonesia yang masih seumur jagung. Awal dekade 1950-an ia sempat bekerja di kantor perwakilan indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, makin kebelakang ia melihat ketidakberesan dalam struktur pemerintahan pusat apalagi pada saat itu, sekitar tahun 1950-1960-an terjadi goncangan hebat dalam struktur dunia perpolitikan Indonesia. Dalam tahun-tahun tersebut banyak terjadi pemberontakan di berbagai daerah karena ketidakpuasan daerah terhadap elite di Jakarta.


Bisa dikatakan awal eksis Hasan Tiro bak mata donja ketika ia menuangkan kekesalan dan kejengkelannya dalam tiga lembar kertas yang kemudian disurati kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo sebagai ultimatum atas tindakan militer Indonesia terhadap gerakan Darul Islam pada tahun 1954 yang dianggapnya sebagai genosida! Akibat ultimatum tersebut Hasan Tiro menjadi buronan di Amerika bahkan sempat mendekam dalam tahanan.


Berselang dua tahun melalui bukunya Demokrasi Untuk Indonesia (1958) Hasan Tiro melakukan kritik terhadap pemerintahan Sukarno dan menawarkan sistem negara federasi sebagai solusi—penyelesaian secara damai—bagi konflik kedaerahan di Indonesia. Namun, lagi-lagi bukannya kompromi, pemerintah malah dengan sombongnya melarang peredaran buku tersebut (Tiro, 1965: 29). Mungkin di situlah terletak jurang besar pemisah antara Hasan Tiro dan Indonesia, Karena pada saat itu ia masih memiliki asa untuk bersama, tapi apa daya gayung tak bersambut, harapan tergantung dan pada akhirnya banting setir dari Indonesia.


Meskipun gerakan pembebasan yang digagasnya dideklarasikan pada akhir tahun 1976 tetapi gagasan-gagasan tentang kemerdekaan telah bergulir, paling tidak sejak tahun 1965. Jika melihat karyanya yang lain, Masa Depan Politik Dunia Melayu, kesimpulan untuk merdeka memang sudah ada. Hal ini terlihat dalam kalimatnya yang terakhir, Kemerdekaan sudah mengetuk dipintu! Marilah kita buka pintu untuk MERDEKA! Jadi, spekulasi pemberontakan Hasan Tiro karena kalah tender proyek PT Arun LNG di Aceh Utara tentu sangat menyedihkan!

Keinginan untuk memerdekakan Aceh semakin jelas terlihat dalam karya fenomenalnya Atjeh Bak Mata Donja (1968). Selama di Amerika ia banyak melakukan penelitian tentang eksistensi Aceh di masa silam.


Maka sungguh tidak heran jika ia memperoleh banyak informasi berupa kumpulan data dan fakta tentang kedaulatan Aceh pra-kolonial-imperialisme Belanda 1873 yang mendukung misi dan gagasannyanya dari sudut pandang politik, sejarah dan hukum.

Gagasan-gagasan besar Hasan Tiro pada dasarnya selalu dilandasi aspek sejarah. Bahkan pemilihan 4 Desember sebagai hari deklarasi kemerdekaan Aceh juga merujuk kepada sejarah. Adalah sebagai bentuk negara sambungan (succesor state) dari kerajaan Aceh yang berakhir pada 3 Desember 1911 karena wafatnya pemangku jabatan terakhir kerajaan Aceh, Teungku Ma’at di Tiro. Setelah deklarasi kemerdekaan Aceh pada tahun 1976, sosok Hasan Tiro semakin mendapat perhatian bak mata donja, khususnya dari pemerintah Indonesia. Keberadaannya menjadi semakin penting, ia ditetapkan sebagai buronan nomor wahid : hidup atau mati!


Situasi seperti ini memaksanya untuk bergerilya di rimba hutan Aceh sampai dengan tahun 1979. Berikutnya ia mencoba untuk berjuang dari luar negeri karena menyadari ada perjuangan lain selain perjuangan angkat senjata yaitu diplomasi. Hasan Tiro sangat menyadari bahwa tidak satupun negara yang memperoleh kemerdekaan hanya dengan cara angkat senjata. Selain dukungan rakyat, diplomasi merupakan unsur terpenting untuk mencapai kemerdekaan. Di luar negerilah ia mencari dukungan dan menjalin hubungan dengan berbagai negara lainnya sehingga dapat mempropagandakan isu Aceh bak mata donja (baca : dalam forum-forum internasional).


Dengan basis ilmu politik yang cukup dikuasainya, Hasan Tiro mampu meramu fakta sejarah dan teori politik serta peran agama (islam) yang bermain di belakang layar menjadi suatu konsep yang dikenal dengan “Nasionalisme Aceh”. Melalui konsep inilah kemudian Hasan Tiro mengampanyekan isu de-colonization dan self-determination (hak menentukan nasib sendiri) bagi Aceh. Indonesia tentu tidak tinggal diam dalam menghadapi problem ini. Maka dari itu ditetapkanlah Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (1989-1998) dan Darurat Militer (2003-2004).


Kampanye isu de-colonization dan self-determination dalam konsep nasionalisme Aceh mencapai titik klimaks sejak lengsernya Soeharto tahun 1998. Ini terbukti dengan tuntutan referendum oleh jutaan rakyat Aceh yang memadati pusat kota Banda Aceh pada tahun 1999. Aksi tersebut merupakan aksi massa terbesar yang pernah terjadi di bumi Aceh.


Indonesia sudah pasti tidak akan mengabulkan tuntutan tersebut karena resikonya adalah pasti, Aceh merdeka!

Saat itu Aceh akibat pemberontakan Hasan Tiro menjadi perbicangan hangat bak mata donja, isu Aceh sudah menjadi isu internasional. Sampai tahun 2003 berbagai negara dan lembaga internasional telah mencoba untuk memediasi perdamaian dan menyelesaikan konflik panjang ini. Katakanlah seperti Jeda Kemanusiaan pada tahun 2000 dan upaya penghentian permusuhan pada tahun 2002 yang dikenal dengan perjanjian CoHA—Cession of Hostilities di Geneva, Switzerland yang difasilitasi oleh Henri Dunant Center (HDC). Selain itu juga perundingan Tokyo Joint Council pada tahun 2003. Namun sayangnya upaya-upaya tersebut tidak menemukan titik temu sampai musibah gempa dan tsunami datang menimpa Aceh pada akhir 2004 yang mendesak dua kubu yang bertikai untuk bersepakat sehingga perdamaian dapat terlaksana pada agustus 2005 yang dimedisi oleh Crisis Management Initiative (CMI).


Sudah menjadi rahasia umum bahwa peran Hasan Tiro dalam abad 21 tidak lagi dominan, karena sebelumnya ia pernah dua kali diserang stroke sehingga tampuk kepemimpinan dalam GAM lebih didominasi oleh orang di sekelilingnya. Tapi Hasan Tiro tetap menjadi magnet besar dalam gerakan tersebut hanya saja teknis-teknis lapangan lebih dikuasai oleh pembesar GAM lainnya.


Magnet besar Hasan Tiro adalah saat masyarakat berbisik-bisik tentangnya, mendiskusikan pemikirannya padahal orang yang dibicarakan tidak pernah dilihat sekalipun, kecuali melalui album foto. Maka gagap gempita rakyat Aceh ketika menyambut kepulangan pertama Hasan Tiro sejak pengasingannya ke Eropa adalah suatu hal yang lazim.


Bahkan sekarang, 91 tahun sejak kelahirannya di tahun 1925 Hasan Tiro tetap saja menarik untuk dibicarakan. Lihat saja di sekeliling, 6 tahun sudah Hasan Tiro mendahului kita menuju dimensi alam yang berbeda. Namun, ia tetap hidup dengan pemikiran-pemikirannya. Ia hidup dalam jiwa pengikut dan pengingkarnya, sehingga menjadi pusat perhatian sejak dari Aceh sampai bak mata donja!

Kumpulan Hadist Maja Aceh


HADIH MAJA, Adakah saat ini Watak dan Prilaku Bangsa Aceh sesuai dengan Hadih Maja..???
Hadih Maja atau Nariet Maja ialah suatu perkataan atau pribahasa didalam kehidupan masyarakat Aceh. Hadih Maja ini mengandung unsur filosofis, yang digunakan sebagai nasehat/peringatan/penjelasan atau sindiran halus agar menjadi pedoman didalam menjalani kehidupan.
Dibawah ini saya papar beberapa hadis maja :
1. Anéuk dônya jinôë, tuha jih nyôn geutanyôë.
2. Aleè tob beulacan,barangkapéu ta kheun maleè tan(nyang maleè ureung jak sajan).
3. Anéuk sithôn tangkeh, ta peugah meunoë dji kheun meudéh.
4. Asai cabôk nibak kudè, asai pakè nibak seunda.
5. Aseë beu that ta lhat pawôn bak takuë, nyang jih aseë cit.
6. Aseë blang nyang pajôh jagông, aseë gampông nyang keunông geulawa.
7. Ata han jeut ta meunari, ta peugah tika hana gét.
8. Awai buét dudoë piké, teulah ôh akheé keupéu lom guna.
9. Awai ji duék deungôn ji tinggông (Awai ji nyuë deungôn ji duék).
10. Awai geulurông dudôë geu larang, pane ék leukang gaséh ka meusra.
11. Aweuk sabeé lam meusanthôk deungôn beulangông.
12. Bak gob mupakeè bek gata pawang, bak gob muprang bek gata panglima.
13. Bak ië laôt peu tabôh sira.
14. Bak nyang gatai, sinan tagarô (Gatai bak jarôë, tagarô bak gaki).
15. Bak si buta ta yuë béut kitab, bak si bangsat ta yuë meu dôa.
16. Bak ta tunyôk bek meu iséuk, bak ta peuduëk beu meulabang.
17. Bak ta mumat ka patah, bak ta meugantung ka putôh.
18. Bak kareèng pane na gapah.
19. Baranggadum raya ië kruëng, nyéng ge bileung ië kuala
Baranggadum buét rakyat, nyang geu bileung buet raja
20. Bek lageé bôh truëng lam jeu’è, hô nyang singèt keunan meurôn.
21. Bek leupah haba, bah leupah buët.
22. Bek taharap ké teuga gob.
23. Bek ta peurunôë buë méu ayôn (Bek ta peurunôë rimuëng pajôh sië).
24. Bit pih phui bak ta kalôn, geuhôn bak ta tidjik.
25. Bit pih takalôn miseé meu kuwèt, umu lon goh treb aneuk goh lom na.
26. Nyawông saboh, barangkapat pih mateé.
27. Bôh ru pirak geu sawak bak leungké leumô, Sinoë geujak, sideh pih geujak, ’oh meureumpôk sabe pungô.
28.Bôh seureuba rasa, peunajôh ureung dusôn,
Yoh gôh, ta lakeè rasa; ôh ka, ta lakeè ampôn.
29. Bubeè lam ië, ië lam bubeè, Hana ta thèë, cucô ka na.
30. Buét walanca-walance, awai pu buét dudôë pikè.
31. Buét ka keumah, keureuja ka jadéh.
32. Buya kruëng teu dông-dông, buya tamông meuraséuki.
33. Digôb geu criek ija di keudé, digeutanyôë ta criek ija di keuiëng.
34. Digôb nyang na karam di laôt, digeutanyôë karam di darat.
35. Djada wa djadi, méunan ta pinta méunan jadi.
36. Djak teu bungkôk-bungkôk, bak duëk teu leumièk-leumièk.
37. Djampôk pujôë droë.
38. Djarak ta jak le péu ta éu, trèb ta udèp lé péu ta rasa.
39. Djarôë uneun tak, jarôë wiè tarèk.
40. Djirhom geutanyôë deungôn èk leumô, ta rhom jih nyôn èk guda.
41. Duék di gampông wèt-wèt purèh, dilikôt inông maguën.
42. Eungkôt di laôt, asam di darat; musapat lam beulangông.
43. Gaseh, meunyô hana péu ta bri, hana leumah.
44. Get su nibak buët.
45. Geumadè ureung kaya.
46. Geutanyôë grôb, patah pha-pha; laba tan sipadè.
47. Geutanyôë meung ka tuha, sakri han kéumah le.
48. Geutanyôë nyôn syedara, tôë bek, jarak pih bek.
49. Geutak sapat, dua pat lhut. (sigô tak, dua pat lhut)
50. Gôb kab campli geutanyôë nyang kéu-éung
Gob meuanéuk geutanyôë madéung.
51. Gôb séuméusië, geutanyôë tak tuléung.
52. Gôb pajôh bôh panah, tanyôë nyang méuligan géutah.
53. Gôh lom wôë pangkai, ka takira laba.
54. Hana buët mita buët; badan payah, kémiroë téusuët.
55. Hana brat ureung nyang mè, brat ureung kalôn.
56. Hana méugruk-gruk, béuna méugrek-grek.
57. Hana meukab, beuna meukib; hana nyang lé, beuna nyang dit.
58. Hana nyang mé ië méu sidrôë, bandum méu apui.
59. Hana sakèt geutob ngôn rincông, leubeh sakèt géungièng ngôn iku mata.
60. Hana ta tuôh maguën, sikai han sèb, sicupak han abèh.
61. Hana ubat.
62. Harap kéu pagéu, pagéu pajôh padeè; harap kéu jantông, jantông jithôk hateè.
63. Hina bak dônya aréeuta téuh tan, hina bak Tuhan èlemeè hana.
64. Hô taba geulinyuëng gôb bôh.
65. Hu muka.
66. Ija pinggang ija inggôt; urôë tapinggang malam ta limbôt.
67. Ikat leumo lam lampôh gob.
68. Intan saban-saban, haréuga méulaèn-laen.
69. Yôh masa réubông han tatèm ngiëng, ‘oh jeut ke triëng han èk lè ta puta.
70. Ka gadôh lam mata bek gadôh lam hatè.
71. Kayèm tajak géu tiëk situëk, jaréung ta jak taduëk geu bri tika.
72. Karèng thô bilèh léubôt; péunyakèt sôt meu ulang téuma.
73. Ka rôh ta méukat sira lam ujeuën.
74. Kapai di hôë le jalô.
75. Keupëu guna ië padè ka layeè; yôh ku tèm keè han tatèm gata.
76. Kéuréulèng nggang cit ke abéuk, kéuréulèng kuék cit kéu paya, Méung hana lintah ngon cangguëk, pu buët kuék dalam paya
77. Kullu nafsin géubeët di uleè, nyan barô ta theè ta tinggai dônya.
78. Ku ‘o-’o ku déungô han, ji anggôk kuanggôk, ku putrôk han.
79. Laba beuna, pangkai béu that bek.
80. Laba-labôh, meukri jiba meukri tabôh.
81. Lagak lageè udëung tèb, silewèu puntông kupiah phèb.
82. Lagee anéuk dara meutumeè subang.
83. Lagee anéuk buya teungôh cabak.
84. Lageè aseë pungô.
85. Lageè aseë lôb pagéuë.
86. Lageè awéuk ngon beulangông.
87. Lageè bak jôk lam utéuën, masèng-masèng peuglah pucôk drôë.
88. Lageè biëng phô.
89. Lageè bôh mamplam di wië, sikin di unéuën.
90. Lageè jalô ikat bak jalô.
91. Lageè ji réubôh ngôn ië léupië.
92. Lageè éungkôt thô paya.
93. Lageè kajak méunan kawoë.
94. Lageè kamèng jak atéuh bateè.
95. Lageè kamèng kab situëk.
96. Lageè kamèng ji pe ayéum ngôn kulèt pisang.
97. Lageè kamèng èh lam brôh.
98. Lageè manôk kemarôm.
99. Lageè mië sube èk.
100. Lageè mirahpati séuiët. Kemarin jam 14:42 · Suka ·  2
‎101. Lageè rimuëng ek bak kayeè, jeut di èk han jeut dji trén.
102. Lageè si buta ka teu bléut.
103. Lageè ta ngiëng bôh mamplam masak.
104. Lageè ta peurakan rimuëng ngôn kamèng.
105. Lageè ta péutupat kayeè céukôk.
106. Lageè ta côk leumo rhét lam môn, ôh lhéuh ta peu téungôh, ji pék geutanyôë.
107. Lageè tikôh lhéuh lam eumpang bréuh.
108. Lageè ureung mateè peurumôh.
109. Lageè ureung peh tèm.
110. Lageè utôh meunasah, gob péubuët gobnyan péugah.
111. Lam ta khèm-khèm dji céukak.
112. Langkah, raseuki, péu tumôn, maôt; hana kuasa geutanyôë hamba.
113. Léumo ka ék ta bloë, taloë han ék ta péuna.
114. Lhéuh bak buya, meu kumat bak rimuëng.
115. Mamèh bek bagah ta uèut, phèt bek bagah ta ulè.
116. Mangat asoë.
117. Mata uroë sigô sahô; ija barô sigô sapô.
118. Meukrôb-krôb lageè séungkô lam eumpuëng.
119. Méunasu meh-môh méukawen dua.
120. Méung hana angèn, paneè mumèt ôn kayeè.
121. Méung hana peng lam jarôë, séupôt lam nanggrôë peungéuh lam rimba.
122. Méung ka ta keubah, ka mangat bak tacôk.
123. Méung ka na ija barô, ka talô ija tuha.
124. Méung na ta keubah, nakéuh peu tacôk.
125. Méunyô galak ta meuséunda, bek ta kira luka asoë.
126. Méunyô hana sië kamèng, uleè kareèng pih mumada.
127. Méunyô utôh peulaku, bôh labu jéut keu asoë kaya.
128. Méunyô ta béunci cit lé peu dalèh, méunyô ta gaséh salah pih beuna.
129. Muka lageè mië pajôh anéuk.
130. Mumèt ôn kayeè lon téupeu cicèm, teusinyôm teukhèm lôn teupéu bahsa.
131. Nabsu kéu putik, ta cukô misè.
132. Nibak pagéu kông jeunerôp, nibak syèdara kông gob.
133. Nibak sihèt bah rhô.
134. Nibak ta aseèk, gét ta anggôk; béuthat brôk-brôk asai ka na.
135. Nit pih sèb, le pih habeh.
136. Nyang blôë buta, nyang publôë tulôë.
137. Nyang na bek ta péutan, nyang tan bek ta péuna.
138. Ôh lhéuh lhôk kôn dhéu.
139. Buèt ka dileè jinôë barô kéumah.
140. Panè meusu jarôë ta téupôk siblah.
141. Pèng abèh gasèh pih kuréung, péu lôm tatuëng kamôë ka hina.
142. Péu méunôë péu méudeh, bu han lét padeè abèh.
143. Péu payah méung ta pét, pula cit ka gob.
144. Péuleupië hateè.
145. Péunyakèt tablôë, utang ta péuna.
146. Peurôh-rôh drôë lageè eungkôt lam cawan.
147. Prang gôh jéut kuta ka réulôh, musôh goh trôh geutanyôë ka cidra.
148. Réudôk na ujéun tan.
149. Sabab lham bak djôk, téubôh lham beusôë, Sabab sidroë ureung brôk, busôk ban sabôh nanggrôë
150. Sayang kéu sira sijéumpèt, teubôh sië sabôh beulangông.
151. Salah aweuk taplah béulangông, salah inông aneuk tatampa.
152. Seupôt buléun lheè ploh.
153. Sia payah lôn liméuh léuhôb, bace ulôn drôp kuah gob rasa.
154. Sigitu irang, ubeè blang irôt.
155. Silab mata, putôh takuë.
156. Sôm kaya, peuléumah gasiën.
157. Sulèt mupalèt, tupat seulamat.
158. Su ubeè reudôk.
159. Tabri pih kutuëng, tatuëng pih kubri; Ta peugah kri bek ta iëm drôë.
160. Ta yuë jak di keë, djitôh géuntôt; ta yuë jak dilikôt djitrôm tumèt.
161. Ta jak jareung géubri tika duëk, ta jak kayèm geu jôk situëk.
162. Ta blôë han èk, ta bayéu èk.
163. Tahuë leumô deungôn talôë, tahuë manusia deungôn akai.
164. Ta keumeung pô hana sayéup.
165. Ta kira kéu ië mata gôb si titèk, rhô ië mata drôëteuh meubram-bram.
166. Ta méuèn ngôn apui tutông, Ta méuèn ngôn ië basah, Ta méuèn ngôn sikin téusië.
167. Ta méungôn ngôn aneuk miët, Ta manôë djipecéukô ië, ta pajôh bu djiséungéu                    eungkôt.
168. Ta méurakan deungôn ureung malèm, treb-treb jeut kéu teungku.
169. Tangah atéuh sabeè.
170. Ta côk han trôh, ta cunthôk rhô kuah.
171. Tikôh sabôh ureung pôh sireutôh.
172. Campli han leè keu’éung, sira han leè masèn.
173. Udèb péuléumah tempat, mateè péuléumah jirat.
174. Utang ka na èt kéiëng.
175. Ta seut ië laôt deungôn paléut jarôë.
176. Khèm gôb khèm géutanyôë, ata jipeukhèm cit géutanyôë.
177.Adat bak Poe Teu Meurehom
Hukum bak Syiah Kuala,
Qanun bak Putroe Phang,
Reusam bak Laksamana.
181.Pantang peudeueng meubalek sarong,
Pantang rincong meubalek mata,
Pantang ureueng diteu’oh kawom,
        Pantang hukom peujeuet peukaru