Wednesday, 26 October 2016

Cara berbakti kepada orang tua setelah mereka tiada


Bagaimana cara berbakti pada orang tua ketika mereka telah meninggal dunia atau tiada?

Dari Abu Usaid Malik bin Rabi’ah As-Sa’idi, ia berkata,

بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا جَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِى سَلِمَةَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِىَ مِنْ بِرِّ أَبَوَىَّ شَىْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ « نَعَمِ الصَّلاَةُ عَلَيْهِمَا وَالاِسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِى لاَ تُوصَلُ إِلاَّ بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا ».

“Suatu saat kami pernah berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu ada datang seseorang dari Bani Salimah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah masih ada bentuk berbakti kepada kedua orang tuaku ketika mereka telah meninggal dunia?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya (masih tetap ada bentuk berbakti pada keduanya, pen.). (Bentuknya adalah) mendo’akan keduanya, meminta ampun untuk keduanya, memenuhi janji mereka setelah meninggal dunia, menjalin hubungan silaturahim (kekerabatan) dengan keluarga kedua orang tua yang tidak pernah terjalin dan memuliakan teman dekat keduanya.” (HR. Abu Daud no. 5142 dan Ibnu Majah no. 3664. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al-Hakim, juga disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Dalam hadits yang lain, kita dapat melihat bagaimana bentuk berbakti pada orang tua yang telah meninggal dunia lewat berbuat baik pada keluarga dari teman dekat orang tua.

Ibnu Dinar meriwayatkan, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata bahwa ada seorang lelaki Badui bertemu dengan Ibnu Umar di tengah perjalanan menuju Makkah. Kemudian ‘Abdullah bin ‘Umar memberi salam dan mengajaknya untuk naik ke atas keledainya serta memberikan sorban yang dipakai di kepalanya. Ibnu Dinar berkata kepada Ibnu Umar, “Semoga Allah memberikan kebaikan kepadamu, sesungguhnya orang itu adalah orang Badui dan sebenarnya ia diberi sedikit saja sudah senang.” ‘Abdullah bin ‘Umar berkata, “Sesungguhnya ayah Badui tersebut adalah kenalan baik (ayahku) Umar bin Al-Khattab. Sedangkan saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الْوَلَدِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ

“Sesungguhnya sebaik-baik bentuk berbakti (berbuat baik) adalah seseorang menyambung hubungan dengan keluarga dari kenalan baik ayahnya.” (HR. Muslim no. 2552)

Dalam riwayat yang lain, Ibnu Dinar bercerita tentang Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Apabila Ibnu ‘Umar pergi ke Makkah, beliau selalu membawa keledai sebagai ganti unta apabila ia merasa jemu, dan ia memakai sorban di kepalanya. Pada suatu hari, ketika ia pergi ke Makkah dengan keledainya, tiba-tiba seorang Arab Badui lewat, lalu Ibnu Umar bertanya kepada orang tersebut, “Apakah engkau adalah putra dari si fulan?” Ia menjawab, “Betul sekali.” Kemudian Ibnu Umar memberikan keledai itu kepadanya dan berkata, “Naiklah di atas keledai ini.” Ia juga memberikan sorbannya (imamahnya) seraya berkata, “Pakailah sorban ini di kepalamu.”

Salah seorang teman Ibnu Umar berkata kepadanya, “Semoga Allah memberikan ampunan kepadamu yang telah memberikan orang Badui ini seekor keledai yang biasa kau gunakan untuk bepergian dan sorban yang biasa engkau pakai di kepalamu.” Ibnu Umar berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَبَرِّ الْبِرِّ صِلَةَ الرَّجُلِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ بَعْدَ أَنْ يُوَلِّىَ

“Sesungguhnya sebaik-baik bentuk berbakti (berbuat baik) adalah seseorang menyambung hubungan dengan keluarga dari kenalan baik ayahnya setelah meninggal dunia.” Sesungguhnya ayah orang ini adalah sahabat baik (ayahku) Umar (bin Al-Khattab).

Bisa jadi pula bentuk berbuat baik pada orang tua adalah dengan bersedekah atas nama orang tua yang telah meninggal dunia.

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا

“Sesungguhnya ibu dari Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia. Sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di sisinya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di sampingnya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iya, bermanfaat.’ Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku sedekahkan untuknya’.” (HR. Bukhari no. 2756)

Sedekah untuk mayit akan bermanfaat baginya berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin. Lihat Majmu’ Al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 24: 314.

Ada enam hal yang bisa kita simpulkan bagaimana bentuk berbakti dengan orang tua ketika mereka berdua atau salah satunya telah meninggal dunia:

1. Mendo’akan kedua orang tua.
2. Banyak meminta ampunan pada Allah untuk kedua orang tua.
3. Memenuhi janji mereka setelah meninggal dunia.
4. Menjalin hubungan silaturahim dengan keluarga dekat keduanya yang tidak pernah terjalin.
5. Memuliakan teman dekat keduanya.
6. Bersedekah atas nama orang tua yang telah tiada.

Semoga bisa diamalkan. Selama masih hidup, itulah kesempatan kita terbaik untuk berbakti pada orang tua. Karena berbakti pada keduanya adalah jalan termudah untuk masuk surga.

Dari Abu Darda radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ فَإِنْ شِئْتَ فَأَضِعْ ذَلِكَ الْبَابَ أَوِ احْفَظْهُ

“Orang tua adalah pintu surga paling tengah. Kalian bisa sia-siakan pintu itu atau kalian bisa menjaganya.” (HR. Tirmidzi no. 1900, Ibnu Majah no. 3663 dan Ahmad 6: 445. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Al-Qadhi Baidhawi mengatakan, “Bakti pada orang tua adalah pintu terbaik dan paling tinggi untuk masuk surga. Maksudnya, sarana terbaik untuk masuk surga dan yang mengantarkan pada derajat tertinggi di surga adalah lewat mentaati orang tua dan berusaha mendampinginya. Ada juga ulama yang mengatakan, ‘Di surga ada banyak pintu. Yang paling nyaman dimasuki adalah yang paling tengah. Dan sebab untuk bisa masuk surga melalui pintu tersebut adalah melakukan kewajiban kepada orang tua.’ (Tuhfah Al-Ahwadzi, 6: 8-9).

Thursday, 13 October 2016

Iskandar Muda, Antara Dikenang dan Dilupa

Iskandar Muda, Antara Dikenang dan Dilupa



Sultan Iskandar Muda

Ini Aceh! Kita yang punya tanah, tempat pemandian keringat dan darah, dibangun bukan dengan sumpah serapah, janji yang diucap mudah, asal ikar di ujung lidah. Iskandar Muda bukan sultan penjual sumpah, walau pernah digelar negatif dalam lembar sejarah.


Oleh Herman .RN (*


MASIH ingatkah Tuan, 418 tahun silam, seorang bayi mungil mengawali matahari suatu pagi di pesisir Serambi, kelak ia menjadi raja bijak bestari, dikenali sampai ke ujung segala nagari, termahsyur baik budi, tersebut adil bestari, mengukir beragam reputasi. Sejarahnya tak basah diterpa hujan, tak lekang di sengat matahari, aromanya kuasa mewangi sepanjang malam hingga batang hari, seterang bulan dan mata hari.


Masih ingatkah Tuan, perkara raja diraja kuasa, yang muncul ke dunia pada 1593, Johan Perkasa Alam awal mula namanya, setelah berkuasa ia digelar Sultan Iskandar Muda, Masgul bansigom donya, ditakuti oleh musuhnya, disegani oleh rekannya, dijunjung oleh kaumnya. Namun, itu semua di masa silam, masa orang-orang paham antara benar dan kebenaran, antara yang dibenarkan dan pembenaran, antara yang pantas dan dipantaskan jadi junjungan.


Sekarang? Berapa banyak orang-orang yang mengaku mencintai dia, yang hidup dan lahir sepanjang Aceh hingga Melaka, mengenang atau mengingat Iskandar Muda dalam hatinya? Seberapa banyak orang yang mengaku lahir di Tanoh Pusaka, menyimpan Iskandar Muda dalam jiwanya? Pantaskah Tuan-Puan, mengaku Aceh bahkan lebih Aceh dari yang seharusnya pewaris tahta keturunan si raja? Padahal, untuk menyebut namanya saja, lidah Tuan mulai alpa, untuk membaca sejarahnya saja, mata seakan buta.


Masih tersimpankah pada ingatan Tuan, 29 tahun ia jadi sultan, sejak 1607 sampai 1636. Sungguh, bukan pakaian sutra yang ia idamkan, walau singgasana dipenuhi intan berlian. Sungguh bukan pujian Tuan yang ia impikan, walaupun ia memang pantas mendapat pujian. Namun, bukalah mata dan pikiran, agar tahu benar cara dan beda antara pempimpin dan pimpinan. Sungguhlah beda saat ia jadi sultan, dengan berjuta sosok pimpinan yang telah menggantikan. Sepanjang sejarah zaman, mulai kerajaan bentuk pemerintahan hingga masuk republik Aceh rupawan, takkan sanggup ada ganti dan tandingan, Iskandar Muda yang adil lagi dermawan.


Masih ingatkah Tuan, cara ia menghadapi lawan, tak kenal lelah, pun tak pernah menyerah. Sekali surut bukan berarti kalah, luka parut demi tanah tumpah darah. Portugis, Belanda, Inggris pun menyerah, Aceh pewaris Melaka dikenal berjazirah. Namun, seberapakah orang-orang kini, kaum ibu dan kaum ayah, yang menyimpan itu sejarah sebagai sebuah kenyataan ilmiah agar tak sampai punah karena beragam polah pengarang luar yang menulis Aceh ke dalam dongeng dengan merekayasa kisah.


Ini Aceh! Kita yang punya tanah, tempat pemandian keringat dan darah, dibangun bukan dengan sumpah serapah, janji yang diucap mudah, asal ikar di ujung lidah. Iskandar Muda bukan sultan penjual sumpah, walau pernah digelar negatif dalam lembar sejarah. Itulah bukti fitrah, ia sebagai khalifah yang bijak bertutur lidah, pun pernah khilap dalam bertingkah. Namun, ia punya kemauan untuk berubah sehingga lebih dikenal baiknya tinimbang yang salah, sehingga patut jadi contoh pemimpin sepanjang langit dan bumi belum terbelah. Janganlah berbangga pada pemimpin penjual sumpah, tapi banggalah dengan sultan yang sudah jadi sejarah.


Mari kita bertanya, seberapa banyak generasi pemula yang menulis sejarah kampungnya sehingga dapat meneruskan kisah pada regenerasi berikutnya sebelum usia mereka dilahap api pada ujung galah. Mari mengingat, berapa lembar buku yang sudah ditulis oleh para muda regenerasi, tentang raja bijak bestari, kecuali selalu berlindung pada ciptaan barat punya alibi. Seberapa banyak sudah mereka yang mengaku profesor, doktor, cendikia, cerdik pandai, dan akademisi, dengan gelar guru besar serta mengaku pakar, mengaku ahli? Sudahkah dalam catatan tesis mereka atau disertasi termaktub nama sultan yang sungguh layak dipuji? Sudahkah mereka mencatat gelar Iskandar Muda di hati? Ah… mungkin pujian itu mesti, tapi bukan untuk orang kita yang mengaku ahli dan peneliti, melainkan bagi Abdul Ghafar Snouck si Teungku Putih. Kalaupun belakangan ada lembaran kisah tentang si raja Iskandar Muda, itu dinukil oleh Dennys Lombard dan Antony Reid dari Eropa. Di mana sejarawan kita? Kemana penulis kita?


Mungkinkah sejarah kampung ini harus berterima kasih pada Soeharto dengan Orba yang ia miliki? Barangkali buruk cara orang tua itu membalas budi, tapi sempat gelar pahlawan pada Iskandar Muda ia beri. Lantas, bagaimana dengan Aceh punya generasi? Ketakziman pada raja tidak lagi berperi, mulai luntur seiring kering embun diterpa mentari, sejalan pergantian tahun dalam hitungan hari-hari, sehingga gemilang masa silam perlahan dibantah dalam kelakar dan senda gurau di ujung gigi, dengan hanya mengingat dan menyebut bagian yang salah pada sultan punya diri. Jangankan menjadikannya sejarah zaman atau mengingat tanggal kelahiran, tahun mangkat si sultan saja sedikit sekali yang mengenangnya sebagai hari bakti, petanda regenerasi mulai lupa pada sejarah budi.


Tahukah Tuan, hari ini, 27 Desember 2011, adalah bilangan 375 tahun air pemandian mesti dibilas, hari mesti mengulang kembalinya ruh ke pengadilan arasy, dan harusnya malam ini menjadi malam khaul budi itu dibalas. Siapa yang pernah menghitung matahari dan bulan sejak mangkatnya sultan di 1636? Pernah Tuan dan Puan mengingat sebuah keniscayaan dan kemestian bahwa ini malam ada keharusan air sembilan, ada doa pada nisan, ada guntingan pada kain kafan, ada ritual tanda duka mendalam? Oh… inilah duka itu, duka sejarah pada usia zaman, tentang raja adil yang mulai dilupakan, tentang hari bangkitnya perekonomian, tentang masa jayanya Johan Perkasa Alam, yang kini hanya tingal kenangan.

Sungguh, ia diingat sekadar nostalgia kebanggaan, sembari dada dibusungkan, mengumbar rekayasa di lisan, tapi tak seorang pun mau dan kuasa mencengah sejarah yang diubah jadi dongeng oleh beberapa yang berbisa lidah.


Malam ini adalah malam sejarah ingatan. Malam kemestian gemilang Iskandar Muda dibangkitkan. Sejarah zaman harus diluruskan. Jangan biarkan diutak-atik oleh para lamit punya kerjaan. Kita punya tanah bertuan, kitalah yang mencatatnya di lembar zaman. Aceh ini punya kita, bukan milik mereka, yang mengaku sedang berkuasa! Kitalah yang membentuk sejarah kita, sejarah adilnya para raja. Bukan mereka, yang mengaku punya kuasa dan senang berkuasa!!
Asyhaduanlaa ilaa hailla anta, wa astaghfiruka wa atubu ilaika…




Thursday, 6 October 2016

MISTERI HAMZAH FANSURI

Hamzah Fansuri, Jasadnya Satu... Maka 


Sudah empat abad lalu dia pergi, tapi namanya masih tetap harum hingga kini. Selain disebut sebagai penyair pertama Indonesia oleh A. Teeuw, Hamzah Fansuri juga meninggalkan ajaran sufisme yang tersebar ke berbagai daerah. Lantaran ajaran sufismenya yang berkiblat ke tarekat wahdatul wujud itulah, perjalanan hidup Hamzah juga cukup berliku. Maka seperti kisah hidupnya yang 'kontroversial', kematiannya pun dibumbui kontroversi yang tak kalah serunya.


Itulah sebabnya, jika ditanya di manakah gerangan makam Hamzah Fansuri, maka ada beberapa pendapat yang menyertainya. Yang pertama akan berkata, makamnya terletak di Desa Oboh, Kecamatan Runding, Kota Subulussalam, sekitar 14 kilometer dari Kota Subulussalam, Aceh Selatan yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Sidikalang, Sumatera Utara, atau sekitar tujuh jam perjalanan darat dari Medan.


Makam satunya lagi berada di Desa Ujung Pancu, Kecamatan Pekan Bada, Kabupaten Aceh Besar. Namun menurut cerita yang diturunkan dari generasi ke generasi, Syaikh Hamzah Al Fansuri pernah tinggal di kedua tempat itu dan meninggalnya pun di klaim berada di kedua tempat itu pula. Makam lainnya, konon berada di Langkawi, Malaysia. Pendapat terakhir mengatakan, makam Hamzah Fansuri berada di Makkah.


Namun, dari berbagai pendapat mengenai letak makam sang Syekh yang mashur itu, konon yang patut dipercaya adalah yang berada di Desa Oboh yang juga terkenal dengan sebutan makam Mbah Oboh. Karena, meski sama-sama tak memiliki bukti kuat berupa catatan sejarah, namun dari kisah 'orang-orang dulu', makam di Desa Oboh kiranya yang lebih diakui oleh pemerintah, dengan bukti pemberian anugerah kebudayaan.


Penyair dan ahli tasawuf Aceh abad ke 17 tersebut, Selasa (13/8/2013) lalu mendapat anugerah Bintang Budaya Parama Dharma, yang diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam acara penganugerahan Bintang Maha Putera, dan Tanda Jasa di Istana Negara.


Selain itu, menurut juru kunci sebelumnya, Abdullah (66), nenek moyangnya yang dulu juga juru kunci di makam tersebut tidak banyak mengetahui perihal riwayat Mbah Oboh. Selain dikenal sebagai ahli fikih dan suluk dari Barus dan pernah bekerja di Istana Kerajaan Aceh, Abdullah dan warga sekitar makam hanya mengetahui satu kisah legenda tentang Mbah Oboh.


”Mengapa memilih dikubur di sini, karena saat beliau menanam padi sekaleng, panennya pun sekaleng. Saat di Kutaraja (sekarang Banda Aceh), menanam padi sekaleng, panennya ratusan kaleng. Beliau berkesimpulan, di sinilah tanah kejujuran,” kata dia.


Makamnya di Desa Oboh hanya berbentuk gundukan tanah bertabur kerikil dan dikungkung kain putih yang sebagian terlihat kusam karena terkena tanah liat. Kain putih itu dipadu kain hijau berisi kaligrafi tulisan asma Allah. Gundukan tanah tadi adalah makam Syekh Hamzah
Fansuri, salah satu ulama legendaris Aceh.


Makam itu terawat rapi dalam bangunan kecil. Sebuah sungai mengalir tak jauh dari sisi kiri makam. Di tempat itu, tak hanya Syekh Hamzah Fansuri yang dimakamkan. Di sekitarnya ada tiga makam lagi, yakni sahabat dan mertua Fansuri. Suasana tenang terasa di tempat ini. Sesekali angin menyeruak dari sela barisan pohon sawit di sekeliling makam.


"Saya nggak tahu kalau makam Syekh Hamzah Fansuri juga ada di sini. Soalnya waktu ke Langkawi, Malaysia, di sana juga ada," ujar Wakil


Gubernur Aceh Muzakir Manaf saat berdiri di samping makam, beberapa waktu lalu.


***


Hamzah nin asalnya Fansury
Mendapat wujud di tanah Shahrnawi
Beroleh khilafat ilmu yang ‘ali
Dari abad ‘Abd al-Qadir Jilani


Hamzah di negeri Melayu
Tempatnya kapur di dalam kayu
Asalnya manikam tiadakan layu
Dengan ilmu dunia di manakan payu


Hamzah Fansury di dalam Mekkah
Mencapai Tuhan di Baitul Ka’bah
Dari Barus terlayu payah
Akhirnya dijumpa di dalam rumah


Hamzah miskin orang uryani
Seperti Ismail menjadi Qurbani
Bukan Ajami lagi Arabi
Senantiasa wasil dengan yang baqi


Inilah syair yang menjadi petunjuk tentang sosok Hamzah Fansuri. Bait-bait syair di atas menjelaskan siapa dan dari mana Hamzah Fansuri berasal. Pada bait pertama nampak nyata, Hamzah berasal dari sekitar Aceh, yang terdapat padanya Fansur (Aceh Selatan), Tanah Shahrnawi (Perlak), negeri Melayu (Pasai-Malaka), Barus (Sumatra Utara).


Ia yang hidup dan berpengaruh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), merupakan tokoh utama yang mengangkat bahasa Melayu dari bahasa lingua-fransca, menjadi bahasa ilmu dan sastra. Peneliti dari Malaysia, Prof Dr. Naguib Alatas dalam bukunya “The Mysticcism of Hamzah Fansuri” menyebut Hamzah Fansyuri sebagai Pujangga Melayu terbesar dalam abad XVII, penyair Sufi yang tidak ada taranya pada zaman itu.


Karya-karya Hamzah Fansyuri antara lain “Syair Perahu, Syair Burung Pingai” dan lain-lain. “Syair Perahu” berisi petuah tetang kehidupan agar tetap memelihara amal kebaikan.


Dalam buku "Hamzah Fansuri Penyair Aceh", Prof. A. Hasymi menyebut Hamzah Fansuri hidup sampai akhir pemerintahan Sultan Iskandar Muda.


Tetapi, pada tulisan lainnya dalam Ruba’i Hamzah Fansuri disebutkan, “Hanya yang sudah pasti, bahwa beliau hidup dalam masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997-1011 H-1589-1604 M) sampai ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H-1607-1636 M).”


Kapan Syeikh Hamzah Fansuri lahir secara tepat belum dapat dipastikan. Adapun tempat kelahirannya di Barus atau Fansur sebagaimana ditulis oleh Prof. A. Hasymi, Fansur itu satu kampung yang terletak antara Kota Singkil dengan Gosong Telaga (Aceh Selatan).


Dalam zaman Kerajaan Aceh Darussalam, kampung Fansur itu terkenal sebagai pusat pendidikan Islam di bagian Aceh Selatan. Pendapat lain menyebut beliau dilahirkan di Syahrun Nawi atau Ayuthia di Siam dan berhijrah serta menetap di Barus.


Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri baik yang berbentuk syair maupun berbentuk prosa banyak menarik perhatian para sarjana, termasuk Prof. Syed Muhammad Naquib yang menulis desertasinya tentang tokoh sufi ini dengan judul "The Misticim of Hamzah Fansuri", 1966 dan diterbitkan Universitas of Malaya Press 1970.


Ada juga Prof. A. Teeuw juga r.O Winstedt yang menyebut Syeikh Hamzah Fansuri mempunyai semangat yang luar biasa yang tidak terdapat pada orang lain. Bahkan, J. Doorenbos dan Syed Muhammad Naquib al-Attas mempelajari biografi Syeikh Hamzah Fansuri secara mendalam
untuk mendapatkan Ph.D masing-masing di Universitas Leiden dan Universitas London.


***


Konon, Hamzah Fansuri jualah yang menjadi salah satu musabab yang membawa nama Aceh menjadi Serambi Mekah. Hamzah Fansuri As-Singkili tercatat dalam lintasan sejarah peradaban Aceh. Dia merupakan salah seorang sufi sekaligus sastrawan terkemuka yang tiada taranya dalam menulis karya-karya monumental kesusasteraan Melayu. Buku-bukunya sering disebut dalam manuskrip kuno “Sejarah Melayu” seperti “Durrul Manzum” (Benang Mutiara) dan “Al-Saiful Qati” (Pedang Tajam).


Dengan syair-syairnya yang berunsur sufistik telah memberi pengaruh luar biasa bagi cendekiawan Melayu untuk membina dan mengembangkan bahasa Melayu menjadi bahasa seni budaya, bahasa ilmu pengetahuan, bahkan bahasa antarabangsa dunia Timur.


Syair-syair Hamzah Fansuri merupakan karangan mistik Islam. Tulisannya menguraikan tasawuf klasik secara eksplisit dan signifikan, dikemas dalam bahasa Melayu seperti “Asrarul Arifin Fi Bayani Ilmis Suluk wat-Tauhid”, "Syaraabul Asyiqin”, dan “Al-Muntahi”.


Betapa banyak pembendaharaan kosa kata Melayu yang dibuatnya, selain melakukan pembaharuan di bidang logika dan mantik yang bertalian dengan pemikiran dalam masalah bahasa.


Keberhasilan Hamzah Fansuri dengan syair-syairnya yang bernuansa agama tak terlepas dari latar belakangnya sebagai seorang sufi yang telah mengelana mencari ma’rifat hingga ke Kudus, Banten, Siam, Semenanjung Melayu, India, Persia, dan Tanah Arab. Berbagai buku tasawuf dari sufi-sufi terkemuka dengan mudah ia kuasai karena kemahirannya dalam berbahasa Melayu, Urdu, Persia, dan Arab.


Dan tak sedikit pula sajak-sajak para sufi terkemuka Persia seperti Ibnu Arabi, Al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, Al-Bustami, Maghribi, Nikmatullah, Abdullah Talil, Abdul Qadir Jailani, Iraqi, Sa’di, dan lain-lain itu ia kutip dalam bahasa aslinya, lalu ia bubuhi syarah/­terjemahannya dalam bahasa Melayu. Namun kapasitas syair-syair yang dihasilkannya menunjukkan bahwa dirinya sangat terpengaruh dan terilhami oleh Ibnu Arabi, tokoh aliran wujudiyyah.


Kedudukan Hamzah Fansuri begitu penting, karena dia lah penyair pertama yang menulis bentuk syair dalam bahasa Melayu empat abad silam. Sumbangan besarnya bagi bahasa Melayu adalah asas awal yang dipancangkannya­ terhadap peranan bahasa Melayu sebagai bahasa keempat di dunia Islam sesudah bahasa Arab, Persia, dan Turki Utsmani.


Hamzah Fansuri banyak mendapat asupan ilmu di Zawiyah/Dayah Blang Pria Samudera/Pasai, Pusat Pendidikan Tinggi Islam yang dipimpin oleh Ulama Besar dari Persia, Syekh Al-Fansuri, nenek moyangnya Hamzah. Kemudian Hamzah Fansuri mendirikan Pusat Pendidikan Islam di pantai Barat Tanah Aceh, yaitu Dayah Oboh di Simpang kiri Rundeng, Aceh Singkil. Kedalaman ilmu yang dimiliki telah mengangkatnya ke tempat kedudukan tinggi dalam dunia sastra Nusantara. Oleh Prof Dr Naguib Al-Attas ia disebut “Jalaluddin Rumi”nya Kepulauan Nusantara, yang tidak terbawa oleh arus roda zaman.


Layaknya Penyair sufi, sajak-sajak Hamzah Fansuri penuh dengan rindu-dendam, luapan emosi cinta kepada kekasihnya, Al-Khaliq, Allah Yang Maha Esa. Rindunya dengan sang Khaliq menjadikannya sebagai Insan Kamil yang tiada lagi pembatas antara dia dan Khaliqnya, karena jiwa telah menyatu ke dalam diri kekasih yang dirindukannya, seperti makna implisit dalam hadits Qudsi riwayat Thabrani:


”Hambaku selalu menghampiriKu dengan ibadah-ibadah yang sunat sehingga Aku cinta kepadanya. Bila demikian, Aku menjadi pendengarannya yang dipergunakannya­ untuk mendengar, pemandangannya yang dipergunakan untuk memandang, lisannya untuk berbicara dan hatinya untuk berpikir.”


Oleh karena itu dalam karya tulis Hamzah Fansuri seakan-akan mendengar dengan telinga Khaliq nya, memandang dengan mata Khaliq nya, berbicara dengan lisan Khaliq nya. Tentu saja hal ini sangat sukar dimengerti dan dipahami oleh orang yang tidak banyak membaca dan
mendalami buah pikiran dan filsafat Ulama Tasawuf atau penyair sufi.


Cakrawalanya yang sejauh ufuk langit telah menghangatkan syair-syair padat dan berisi penuh dengan butir-butir filsafat, tetapi menawan hati untuk menguak makna yang terkandung.


Di antara karyanya yang ekstentik itu adalah "Syair Burung Perahu", "Syair Burung Pingai", "Syair Burung Unggas", "Syair Perahu" dan "Bismilllahir Rahmanir Rahim". Menurut A. Hasjmy, meskipun ia menganut filsafat Tuhan (Wahdatul Wujud), ia menolak faham hulul, faham keleburan selebur-leburnya dengan Tuhan:


Aho segala kita umat Rasuli
Tuntut ilmu hakikat al-wusul
Karena ilmu itu pada Allah qabul
I’tiqad jangan ittihad dan hulul.


Perhatikan juga bahasa yang terdapat dalam petikan 'Syair Perahu'nya ini:


Inilah gerangan suatu madah
Mengarangkan syair terlalu indah
Membetuli jalan tempat berpindah
Di sanalah i'tikad diperbetuli sudah


Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiadalah berapa lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu


Hai muda arif budiman
Hasilkan kemudi dengan pedoman
Alat perahumu jua kerjakan
Itulah jalan membetuli insan


Dengan penggunaan bahasa yang indah dan dengan perumpamaan yang sederhana, Syair Perahu ini pada suatu masa menjadi sebutan orang ramai. Ia digunakan oleh ibu bapa untuk menasihati anaknya agar mentaati ajaran Islam.


Dalam Ensiklopedi Umum (1973) mengatakan Hamzah Fansuri adalah seorang penyair dan ahli tasawuf yang berasal dari Barus, Sumatera.


Aliran Hamzah Fansuri dalam ilmu tasawuf sangat terpengaruh sehingga ke Tanah Jawa. Hamzah Fansuri banyak terkesan dengan karya-karya serta ketokohan Ibnu Arabi, Al-Hallaj, Al-Djunaid dan Jajaludin ar-Rumi kerana nama-nama ini ada disebut dalam kebanyakkan karya
Tasawwufnya.


Aliran Hamzah Fansuri terkenal dengan teori Wahdatul Wujud di mana fahaman ini sangat ditentang oleh Nuruddin Ar-Raniri. Antara bentuk karangannya yang sangat terkenal adalah Syair Perahu, Syair Burung Pungai, Syair Dagang dan lain-lain (Hasan Shadily 1973: 321).


Mengenai tarikh lahir Hamzah Fansuri hingga kini masih diperdebatkan. Ooi Keat Gin (2004) dalam ensklopedianya menyatakan bahwa beliau lahir pada pertengahan abad ke-16 saat kepimpinan serta kesultanan Sultan Alaudin Riayat Shah Ibn Firman Shah (1589-1604) (Ooi Keat Gin. 2004: 560). Drewes dan Brakel (1986) pun berpendapat bahwa Hamzah hidup hingga zaman kesultanan Iskandar Muda (Mahkota Alam) yaitu antara tahun 1607 hingga 1636 masehi.


Berdasarkan penelitian dan kajian jelas mengatakan bahawa beliau meninggal dunia antara sebelum atau pada tahun 1590 masihi (Drewes dan Brakel 1986:3). Manakala Naquib Al-Attas dalam membicarakan mengenai tahun kelahiran Hamzah Fansuri, beliau membawakan beberapa bait syair Hamzah Fansuri yang boleh dijadikan justifikasi kepada isu ini:


Sjah ‘Alam Radja jang adil
Radja Qoetoeb jang sampoerna kami
Wali Allah sampoerna wasil
Radja arif lagi mukammil
Bertambah daulat Sjah


Bertambah daulat Sjah ‘Alam
Makota pada sekalian Alam
Karoenia ilahi Rabb al-‘alamina
Menjadi radja kedoe alam.


Dari keterangan dan bukti yang dikemukakan sarjana-sarjana di atas maka besar kemungkinan Hamzah Fansuri hidup semasa Sultan ‘Ala al-Din Riayat Syah (1589-1602) atau pada akhir abad ke-16 sampai abad ke-17 dan diperkirakan Hamzah Fansuri meninggal dunia sebelum atau pada 1016/1607 sesuai dengan bukti-bukti yang dikemukan oleh Naquib al-Attas (Naguib al-Attas 1970:70). Lebih tepat lagi A. Hasmy dalam kertas kerjanya mengatakan bahawa pada akhir pemerintahan Sulthan Iskandar Muda Meukuta Alam (wafat 29 Rajab 1046 H = 27 Desember 1636 M.), Syekh Hamzah Fansuri meninggal dunia di Wilayah Singkel, dekat kota kecil Rundeng. Beliau dimakamkan di Kampung Oboh Simpang Kiri Rundeng di Hulu Sungai Singkel. (A. Hasmy 1984:11).


Tentang tempat kelahiran Hamzah Fansuri, kebanyakkan sarjana sepakat beliau berasal dari Fansur yang bersempena dengan nama di belakangnya yaitu Fansuri. Fansur adalah sebuah pelabuhan Pantai Barat di Utara Sumatera antara Singkil dan sibolga. Orang luar menengarai tempat ini sebagai Fansur tetapi lebih tepatnya Barus dalam bahasa setempat (Ooi Keat Gin. 2004: 561). Sementara, jika mengacu dari karya Naguib al-Attas (1970:5-8), mengatakan bahwa Hamzah pernah menulis dalam syairnya yang menerangkan dirinya lahir di Shahr Nawi (Shah r-i-Nawi) atau Ayutthaya, Thailand. Tetapi disanggah Drewes dan Brakel (1986) yang mengatakan ini hanya teori dan kemungkinan Hamzah Fansuri telah menjelajah atau bermusafir sehingga ke Ayutthaya dan menuntut ilmu bersama orang Parsi di sana (Drewes dan Brakel 1986:5).


Maklumlah, Hamzah Fansuri semasa hidupnya sangat suka menjelajah atau bermusafir ke seluruh Nusantara dan Tanah Arab, antara lain: Pahang, Ayttuhaya, Mughal India, Mekah, Madinah dan juga Baghdad. Ilmu wahdatul wujud yang diserap Hamzah, menurut beberapa ahli terpengaruh oleh pandangan Ibnu Arabi yang berasal dari Sepanyol, ketika Hamzah menjelajah ke Mughal India dan juga Parsi sekitar abad ke-16. Ketika mengajarkan doktrin wahdatul wujud, Fansuri berada di Aceh di akhir abad ke-16. Aceh sendiri kala itu merupakan pusat kekuasaan, politik, dan ketentaraan serta pusat Islam yang pesat menggantikan Malaka yang ketika itu ditawan oleh Portugis pada 1511.


Hamzah Fansuri banyak dikritik oleh Nuruddin al-Raniri (1658). Nuruddin mengatakan bahwa Hamzah dan Syamsuddin Sumatrani yang mengajarkan wahdatul wujud adalah sesat dan bertentangan dengan apa yang difahami oleh dirinya. Ini adalah karena di India, wahdatul
wujud sangat ditentang oleh ahli aqidah di India dan situasi yang sama dibawa ke Aceh dengan mempengaruhi Sultanah Taj al-Alam Safatudin Shah (1641-1675) untuk membakar dan mengharamkan nama Hamzah Fansuri dan karyanya. Oleh karena itu, nama dan peranan
Hamzah Fansuri banyak tidak kelihatan dalam karya Indonesia sebagaimana dengan Hikayat Acheh (Ooi Keat Gin. 2004: 561-562).


Menurut Abdul Hadi, Hamzah Fansuri merupakan penyair yang tersohor di tanah Melayu abad ke-16 yang menjadi buah mulut kalangan sarjana di Nusantara. Hamzah Fansuri merupakan intelektual dan ahli sufi yang terkemuka dan dianggap perintis dalam pelbagai bidang keilmuan. Hamzah merintis tradisi baru dalam penulisan sastra Melayu-Indonesia, khususnya di bidang penulisan sastra yang bercorak Islam di abad ke 16 dan ke 17 (2001: 117). Dia merupakan "Bapak Sastera Melayu" dan orang yang pertama menulis dalam bahasa Melayu tentang banyak aspek tasawuf (Muhammad Bukhari: 123).


Hingga kini, dari berbagai penelitian, belum ditemukan syair yang mendahului syair Hamzah Fansuri (Voorhoeve: 278). Mengikut Syed Naguib al-Attas, syair Hamzah Fansuri terawal yang masih wujud dianggap berasal dari seorang ahli mistik Sumatera abad ke-16 (lihat Siti Hawa Haji Saleh: 123). Hamzah Fansuri juga disebut sebagai seorang muslim yang sangat bertakwa, yang disanjungnya ialah khalik yang mencipta alam semesta dan menentukan takdir-Nya (Muhammad Naquib al-Attas, 1970: 322). Dia juga seorang ahli tasawuf, zahid dan mistik yang mencari penyatuan dengan khalik dan menemuinya di jalan isyk (cinta) (V.I Braginsky, 1994: 15)