Thursday, 31 March 2016

Suami Digoyang Ombak, Istri Digoyang Laki Lain Hingga Hamil 7 Bulan di Aceh Timur



Seorang ibu rumah tangga, SYF (21) warga Idi Tunong, ketahuan memasukkan pemuda ke rumahnya, MK (22) warga Banda Alam, Aceh Timur, saat suami SYF yang berprofesi sebagai nelayan tidak berada dirumah.
Pasangan yang dilanda birahi asmara itu ditangkap warga Desa Blang Gelumpang, Idi Rayeuk, Aceh Timur, Kamis 31 Maret 2016 sekira pukul 10:00 WIB pagi dirumah SYF, di desa setempat. Untuk mempertangungjawabkan perbuatannya, pasangan ini telah diamankan di kantor Wilayatul Hisbah (WH) Aceh Timur.
Berdasarkan pengakuan SYF, pasangan haramnya itu ‘bertamu’ pada Rabu 30 Maret 2016 malam sekira pukul 23:00 WIB. “Dia masuk melalui jendela kamar, sehingga tidak pernah ketahuan,” ujar SYF.
Wanita yang baru menikah dan sedang hamil 7 bulan ini, menjalin hubungan terlarang dengan MK sejak satu bulan setelah dirinya menikah.
“Kami sering ketemuan di gubuk, waktu masih tinggal di Buket Kareung. Setelah dua bulan lalu saya tinggal di Blang Geulumpang, Idi Rayeuk, MK datang kerumah sebulan 3 kali waktu suami pergi ke laut,” katanya.
Kabid WH Aceh Timur Muzakir, SHI, kepada klikkabar.com, membenarkan bahwa pihaknya telah mengamankan pasangan tersebut. “Mereka sedang dalam pemeriksaan dan kita masih menunggu keluarga dari kedua belah pihak serta suami SYF yang saat ini masih di laut, untuk dilakukan proses lebih lanjut,” kata Muzakir.

Dewan dari Fraksi PA Cuma Berani Mengoceh Bendera Sah Berkibar, Tapi Takut Tuk Dinaikin Depan Kantor Gubernur


Rakyat Aceh kibarkan bulan bintang pada tahun 1999. foto: doc AcehMerdekaPost.com

Bendera Bulan Bintang menjadi senjata ampuh untuk memutar bioskop politik Aceh yang akan tampil di pemilu nanti, namun sayangnya, orang-orang yang bau politik dari partai Aceh hanya bisa mengoceh dan teriak-teriak dalam gedung dan tak berani mengibarkannya.


Dikutip dari Portasatu.com, Direktur Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin, S.H., menantang DPR Aceh untuk mengibarkan bendera Bintang Bulan. Dia mempertanyakan sikap DPR Aceh yang terkesan ogah mengibarkan bendera tersebut setelah pengesahan Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh.

"Saya sudah bawa bendera ke DPR, tapi mereka tidak berani mengibarkannya. Kalau menurut DPR Aceh sudah sah, kenapa mereka takut? Maka saya bilang kalau bendera tidak selesai, ya, sudahlah, kita setop dulu pembicaraannya. Kita bahas lain saja, yang lebih penting untuk rakyat," kata Safaruddin saat mendeklarasikan Sahabat T. M. Nurlif di Mess Pemda Bener Meriah, Rabu, 30 Maret 2016. T M. Nurlif akan maju sebagai bakal calon Gubernur Aceh pada pilkada 2017.

Safaruddin juga menyesalkan absennya pihak DPR Aceh dalam rapat Forkopimda untuk membahas bendera beberapa waktu lalu di Meuligo Wali Nanggroe.

"Inilah DPR. Waktu pembahasan tidak hadir. Lantas usai keputusan, mereka ramai-ramai bicara lewat media," ujar Safaruddin.

Safaruddin mengatakan sudah sepatutnya DPR dan Gubernur Aceh berada di garis depan untuk mengibarkan bendera Bintang Bulan yang sudah disahkan menjadi Bendera Aceh.

"Jangan paksakan rakyat untuk kibarkan Bintang Bulan. Rakyat tidak sanggup menanggung risikonya," ujar Safaruddin.[portalsatu.com]

19 Sunnah Yang Jarang Dikerjakan Kaum Muslimin

Sunnah adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam baik perkataan, perbuatan, ataupun persetujuan. Sunnah juga berarti sesuatu yang pelakunya mendapat pahala dan tidak ada dosa bagi yang meninggalkannya. Di antara 



Perbuatan sunnah yang jarang dilakukan kaum muslimin adalah sebagai berikut:
1. Mendahulukan Kaki Kanan Saat Memakai Sandal Dan Kaki Kiri Saat Melepasnya
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallambersabda, “Jika kalian memakai sandal maka dahulukanlah kaki kanan, dan jika melepaskannya, maka dahulukanlah kaki kiri. Jika memakainya maka hendaklah memakai keduanya atau tidak memakaikeduanya sama sekali.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Menjaga Dan Memelihara Wudhu
Diriwayatkan dari Tsauban Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallambersabda,“Istiqamahlah (konsistenlah) kalian semua (dalam menjalankan perintah Allah) dan kalian tidak akan pernah dapat menghitung pahala yang akan Allah berikan. Ketahuilah bahwa sebaik-baik perbuatan adalah shalat, dan tidak ada yang selalu memelihara wudhunya kecuali seorang mukmin.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

3. Bersiwak (Menggosok Gigi dengan Kayu Siwak)
Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu Anha bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallambersabda,“Siwak dapat membersihkan mulut dan sarana untuk mendapatkan ridha Allah.” (HR. Ahmad dan An-Nasa`i)

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda, “Andaikata tidak memberatkan umatku niscaya aku memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali hendak shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Bersiwak disunnahkan setiap saat, tetapi lebih sunnah lagi saat hendak berwudhu, shalat, membaca Al-Qur`an, saat bau mulut berubah, baik saat berpuasa ataupun tidak, pagi maupun sore, saat bangun tidur, dan hendak memasuki rumah.

Bersiwak merupakan perbuatan sunnah yang hampir tidak pernah dilakukan oleh banyak orang, kecuali yang mendapatkan rahmat dari Allah. Untuk itu, wahai saudaraku, belilah kayu siwak untuk dirimu dan keluargamu sehingga kalian bisa menghidupkan sunnah ini kembali dan niscaya kalian akan mendapatkan pahala yang sangat besar.

4. Shalat Istikharah
Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu Anhu bahwa ia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallammengajarkan kepada kita tata cara shalat istikharah untuk segala urusan, sebagaimana beliau mengajarkan surat-surat Al-Qur`an kepada kami.” (HR. Al-Bukhari)
Oleh karena itu, lakukanlah shalat ini dan berdoalah dengan doa yang sudah lazim diketahui dalam shalat istikharah.


5. Berkumur-Kumur Dan Menghirup Air dengan Hidung Dalam Satu Cidukan Telapak TanganKetika Berwudhu
Diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallamberkumur-kumur dan menghirup air dengan hidung secara bersamaan dari satu ciduk air dan itu dilakukan sebanyak tiga kali. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

6. Berwudhu Sebelum Tidur Dan Tidur Dengan Posisi Miring Ke Kanan
Diriwayatkan dari Al-Barra’ bin Azib Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallambersabda, “Jika kamu hendak tidur, maka berwudhulah seperti hendak shalat, kemudian tidurlah dengan posisi miring ke kanan dan bacalah, ‘Ya Allah, Aku pasrahkan jiwa ragaku kepada-Mu, aku serahkan semua urusanku kepada-Mu, aku lindungkan punggungku kepada-Mu, karena cinta sekaligus takut kepada-Mu, tiada tempat berlindung mencari keselamatan dari (murka)-Mu kecuali kepada-Mu, aku beriman dengan kitab yang Engkau turunkan dan dengan nabi yang Engkau utus’. Jika engkau meninggal, maka engkau meninggal dalam keadaan fitrah. Dan usahakanlah doa ini sebagai akhir perkataanmu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
7. Berbuka Puasa Dengan Makanan Ringan
Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallamberbuka puasa sebelum shalat maghrib dengan beberapa kurma basah. Jika tidak ada maka dengan beberapa kurma kering. Jika tidak ada, maka beliau hanya meminum beberapa teguk air.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)


8. Sujud Syukur Saat Mendapatkan Nikmat Atau Terhindar Dari Bencana
Sujud ini hanya sekali dan tidak terikat oleh waktu. Diriwayatkan dari Abu Bakrah Radhiyallahu Anhu ia berkata, “Jika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mendapatkan sesuatu yang menyenangkan atau disampaikan kabar gembira maka beliau langsung sujud dalam rangka bersyukur kepada Allah.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).


9. Tidak Begadang Dan Segera Tidur Selesai Shalat Isya`
Hal ini berlaku jika tidak ada keperluan saat begadang. Tetapi jika ada keperluan, seperti belajar, mengobati orang sakit dan lain-lain maka itu diperbolehkan. Dalam hadits shahih dinyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak suka tidur sebelum shalat isya` dan tidak suka begadang setelah shalat isya`.


10. Mengikuti Bacaan Muadzin
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu Anhu bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah seperti yang diucapkan oleh muadzin, kemudian bershalawatlah kepadaku. Barangsiapa yang bershalawat kepadaku, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali. Kemudian mintakan wasilah untukku, karena wasilah merupakan tempat di surga yang tidak layak kecuali bagi seorang hamba Allah dan aku berharap agar akulah yang mendapatkannya. Barangsiapa yang memintakan wasilah untukku maka ia akan mendapatkan syafaatku (di akhirat kelak).” (HR. Muslim)


11. Berlomba-Lomba Untuk Mengumandangkan Adzan, Bersegera Menuju Shalat, Serta Berupaya Untuk Mendapatkan Shaf Pertama.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallambersabda, “Andaikata umat manusia mengetahui pahala di balik adzan dan berdiri pada shaf pertama kemudian mereka tidak mendapatkan bagian kecuali harus mengadakan undian terlebih dahulu niscaya mereka membuat undian itu. Andaikata mereka mengetahui pahala bergegas menuju masjid untuk melakukan shalat, niscaya mereka akan berlomba-lomba melakukannya. Andaikata mereka mengetahui pahala shalat isya dan subuh secara berjamaah, niscaya mereka datang meskipun dengan merangkak.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim)


12. Meminta Izin Tiga Kali Ketika Bertamu
Jika tidak mendapatkan izin dari tuan rumah, maka konsekuensinya anda harus pergi. Namun, banyak sekali orang yang marah-marah jika mereka bertamu tanpa ada perjanjian sebelumnya, lalu pemilik rumah tidak mengizinkannya masuk. Mereka tidak bisa memaklumi, mungkin pemilik rumah memiliki uzur sehingga tidak bisa memberi izin. Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika dikatakan kepadamu, “Kembalilah!” Maka (hendaklah) kamu kembali. Itu lebih suci bagimu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nuur: 28)
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Adab meminta izin itu hanya tiga kali, jika tidak diizinkan maka seseorang harus pulang.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


12. Mengibaskan Seprai Saat Hendak Tidur
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallambersabda, “Jika kalian hendak tidur, maka hendaknya dia mengambil ujung seprainya, lalu mengibaskannya dengan membaca basmallah, karena dia tidak mengetahui apa yang akan terjadi di atas kasurnya. Jika dia hendak merebahkan tubuhnya, maka hendaknya dia mengambil posisi tidur miring ke kanan dan membaca, “Maha Suci Engkau, ya Allah, Rabbku, dengan-Mu aku merebahkan tubuhku, dan dengan-Mu pula aku mengangkatnya. Jika Engkau menahan nyawaku, maka ampunkanlah ia, dan jika Engkau melepasnya, maka lindungilah ia dengan perlindungan-Mu kepada hamba-hamba-Mu yang shalih.” (HR. Muslim)


13. Meruqyah Diri Dan Keluarga
Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu Anha bahwa ia berkata, “Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam senantiasa meruqyah dirinya dengan doa-doa perlindungan ketika sakit, yaitu pada sakit yang menyebabkan wafatnya beliau. Saat beliau kritis, akulah yang meruqyah beliau dengan doa tersebut, lalu aku mengusapkan tangannya ke anggota tubuhnya sendiri, karena tangan itu penuh berkah.” (HR. Al-Bukhari)


14. Berdoa Saat Memakai Pakaian Baru
Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam jika mengenakan pakaian baru, maka beliau menamai pakaian itu dengan namanya, baik itu baju, surban, selendang ataupun jubah, kemudian beliau membaca, “Ya Allah, hanya milik-Mu semua pujian itu, Engkau telah memberiku pakaian, maka aku mohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan tujuannya dibuat, dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan tujuannya dibuat.”(HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)


15. Mengucapkan Salam Kepada Semua Orang Islam Termasuk Anak Kecil
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru Radhiyallahu Anhu, ia menceritakan, ”Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ‘Apa ciri keislaman seseorang yang paling baik?’Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, ‘Kamu memberikan makanan (kepada orang yang membutuhkan) dan mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan orang yang tidak kamu kenal.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu Anhu bahwa ia menuturkan, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berjalan melewati kumpulan anak-anak, lalu beliau mengucapkan salam kepada mereka semua.”(HR. Muslim)


16. Berwudhu Sebelum Mandi Besar (Mandi Junub)
Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu AnhuJika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ingin mandi besar, maka beliau membasuh tangannya terlebih dahulu, lalu berwudhu seperti hendak shalat, kemudian memasukkan jemarinya ke airdan membasuh rambutnya dengan air. Selanjutnya RasulullahShallallahu Alaihi wa Sallam menuangkan air tiga ciduk ke kepalanya dengan menggunakan tangannya, lalu mengguyur semua bagian tubuhnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


17. Membaca ‘Amin’ Dengan Suara Keras Saat Menjadi Makmum
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallambersabda, “Jika imam membaca “Amin” maka kalian juga harus membaca “Amin” karena barangsiapa yang bacaan Amin-nya bersamaan dengan bacaan malaikat maka diampunkan dosa-dosanya yang telah berlalu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa kaum salafus-shalih mengeraskan bacaan “Amin” sehingga masjid bergemuruh.


18. Mengeraskan Suara Saat Membaca Zikir Setelah Shalat
Di dalam kitab Shahih Al-Bukhari disebutkan, “Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma mengatakan, mengeraskan suara dalam berzikir setelah orang-orang selesai melaksanakan shalat wajib telah ada sejak zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ibnu Abbas juga mengatakan, “Aku mengetahui orang-orang telah selesai melaksanakan shalat karena mendengar zikir mereka.” (HR. Al-Bukhari)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Disunnahkan mengeraskan suara saat membaca tasbih, tahmid dan takbir setelah shalat.”


Sunnah ini tidak dilakukan di banyak masjid sehingga tidak dapat dibedakan apakah imam sudah salam atau belum, karena suasananya sepi dan hening. Caranya adalah imam dan makmum mengeraskan bacaan tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah) dan takbir (Allahu Akbar) secara sendiri-sendiri, bukan satu komando dan satu suara. Adapun mengeraskan suara ketika berzikir dengan satu komando, satu suara dan dipimpin oleh imam maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang mengatakan sunnah secara mutlak, ada yang memandang sunnah dengan syarat-syarat tertentu dan ada pula yang mengatakan bahwa zikir berjamaah adalah perbuatan bid’ah.


19. Membuat Pembatas Saat Sedang Shalat Fardhu Atau Shalat Sunnah
Diriwayatkan dari Abu Said al-Kudri Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallambersabda, “Ketika kalian hendak shalat, maka buatlah pembatas di depannya dan majulah sedikit, dan janganlah membiarkan seseorang lewat di depannya. Jika ada orang yang sengaja lewat di depannya, maka hendaknya dia menghalanginya karena orang itu adalah setan.” (HR. Abu dawud dan Ibnu Majah)


Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma, ia berkata, “Rasulullah menancapkan tombak di depannya, lalu shalat di belakang tongkat itu.” (HR. Al-Bukhari)
Sunnah ini sering diabaikan, terutama saat melakukan shalat sunnah.


Wahai saudaraku! Jadilah seperti orang yang diungkapkan oleh Abdurrahman bin Mahdi, “Aku mendengar Sufyan berkata, ‘Tiada satu hadits pun yang sampai kepadaku kecuali aku mengamalkannya meskipun hanya sekali.”


Muslim bin Yasar mengatakan, “Aku pernah melakukan shalat dengan memakai sandal padahal shalat tanpa sandal sangat mudah dilakukan. Aku melakukan itu hanya ingin menjalankan sunnah RasulShallallahu Alaihi wa Sallam.”


Ibnu Rajab menuturkan, “Orang yang beramal sesuai ajaran Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,meskipun amal itu sangat kecil, maka itu akan lebih baik daripada orang yang beramal tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meskipun dia sangat bersungguh-sungguh.”


Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang mengikuti sunnah rasul-Mu dan mengikuti jejaknya. Ya Allah, kumpulkanlah kami dan kedua orang tua kami bersamanya di surga wahai Tuhan Yang Maha Pengasih.

Kisah Keturunan Raja Ubiet di Pedalaman Rimba Aceh

Kisah Keturunan Raja Ub


Hidup terisolir selama puluhan tahun di tengah Hutan membuat keturunan Raja Ubiet tak tersentuh peradaban modern. Mereka yang dulunya melarikan diri dari kejaran Belanda dari Keumala-Tangse ke pedalaman pucuk Gunung Itam. Ironisnya, mereka baru mengetahui jika Indonesia sudah merdeka pada tahun 1985. Bahkan sampai saat ini ada di antara mereka yang tak pernah makan garam, takut turun gunung karena menganggap Negeri masih di kuasai Belanda. Bagaimana kisahnya?

Raja Ubiet adalah Raja Keumala-Tangse, Aceh Pidie yang membawa pengikut dan keturunannya ke Gunung Itam di gugusan Bukit Barisan di Nagan Raya untuk menghindari kejaran penjajah Belanda. Mereka hidup secara tradisional mengandalkan kemurahan alam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka hidup dalam peradaban yang nyaris tanpa sentuhan modernisasi.

Saat ini, ada 50 kepala keluarga yang menempati 50 rumah di hulu Sungai Krueng Tripa di pegunungan itu. Mereka dipimpin Teuku Raja Keumala (50), keturunan langsung Raja Ubiet. Teuku Raja Keumala adalah raja tanpa mahkota dan kursi kerajaan di wilayah yang berbatasan dengan Aceh Tengah dan Pidi Jaya itu. Saking sederhananya, Teuku Raja Keumala kerap tampil berbusana hitam-hitam tanpa alas kaki dengan kepala dililit kain hitam

Warga yang dipimpin Teuku Raja Keumala tak kalah tradisionalnya dan hidup alamiah di hutan rimba. Malahan hingga kini, ada warganya yang tidak makan garam, karena tidak turun gunung. Selain 50 rumah yang berada di pucuk Gunung Itam itu, komunitas turunan Raja Ubiet, yang sudah menikmati perubahan alias modernisasi, membuka pemukiman baru di Gunung Kong.

“Mereka turunan kesekian dari Raja Ubiet, ayah saya. Mereka turun gunung pada tahun 80-an, semasa gubernur Ibrahim Hasan,” ujar Teuku Raja Keumala dalam bahasa Aceh kental yang diterjemahi oleh Saifuddin Junaidi, 59 tahun.

Jarak tempuh dari Gunung Kong ke Pucuk Gunung Itam, memakan waktu dua hari dua malam berjalan kaki. Jalannya hanya setapak dan melintasi bebatuan juga hutan rimba.

Ironisnya, kehidupan warga pedalaman yang dulunya melarikan diri dari kejaran Belanda dari Keumala-Tangse, Pidie, ke pedalaman pucuk Gunung Itam, ini baru mengetahui kalau Indonesia merdeka, semasa Gubernur Ibrahim Hasan atau tepatnya tahun 1985. Kala itu, Ibrahim Hasan, meminta mereka untuk turun gunung.

Seusai bertemu gubernur, rumah bantuan pun diberikan, makanya sebagian komunitas keturunan Raja Ubiet, berada di Gunung Kong. Sebagian turunan kedua Raja Ubiet lainnya masih bertahan di pedalaman dan hidup apa adanya yang bersumber dari hutan. “Kami menanam pisang, ketela, singkong, durian, dan juga padi, untuk makan sehari-hari,” tukas Teuku Raja Keumala, anak kelima dari Raja Ubiet.

Diakuinya, pendatang yang berkunjung ke pemukiman di Pucuk Gunung Itam, tetap harus beradaptasi dengan warga setempat. Misalnya, lanjutnya, pakaian tamu harus berwarna hitam-hitam dan tidak boleh pakaian yang menyerupai penjajah Belanda yang dinilainya ‘kafir’.

Tidak boleh memakai topi juga tanpa alas kaki. Pengharusan ini, ujarnya, dikarenakan menghormati kebiasaan mereka sejak zaman penjajahan Belanda, tempo dulu. Kebaisaan tersebut, terbawa hingga kini, kecuali komunitas turunan yanga berada di Gunung Kong.

Dia bilang, kaum perempuan pun juga mengenakan busana serba hitam dan memakai celana panjang seperti yang dikenakan Cut Nyak Din, pahlawan nasional Aceh. hanya saja, celananya serba longgar begitu juga bajunya. Diakuinya lagi, pakaian mereka dijahit menggunakan tangan dan benangnya yang diolah dari benang nenas. Sementara, kainnya di pesan dari pasar melalui kurir sejak zaman penjajahan dulu.

Ia pun mengisahkan, Raja Ubiet dulunya tidak mau menyerah atau takluk kepada Belanda, makanya mereka sekeluarga lari ke gunung. Tak sampai di situ, diperjalanan mereka tetap dikejar dan berakhir di Pucuk Gunung Itam, sisanya ke gunung lainnya. Saat di kejar itu, mereka membuang semua alasa kaki, sehingga tidak mudah diendus jejaknya.

Begitu juga, terangnya, pakaian warna warni ikut mereka tanggalkan, karena dianggap memudahkan pihak Belanda menemukan mereka. Alhasil, hingga kini mengenakan pakaian serba hitam dan tanpa alas kaki, meski ke kota sekalipun. Kecuali, komunitas yang berada di Gunung Kong, sudah pakai alas kaki dan juga pakaiannya berwarna-warni.

Kebencian terhadap penjajah itulah, makanya siapapun yang berkunjung ke Pucuk Gunung Itam, tampilannya tidak boleh menyerupai ‘kafir’. Lagipula, hingga kini mereka belum mau menerima kemajuan tekhnologi, sehingga tidak ada televisi, apalagi handphone, di sana.

Selain itu, tingkat kewaspadaan mereka masih tetap tinggi dan berbekas hingga saat ini. Pandangan matanya lebih sering ditujukan ke bawah, namun ekor matanya kerap mengawasi, seolah dalam kesiap-siagaan penuh alias penuh kecurigaan terhadap orang asing. Meski Indonesia telah merdeka 60-an tahun lebih, namun, keturunan Raja Ubiet, masih ada rasa ketakutan kalau-kalau Belanda kembali mengejar mereka.

Tak pelak lagi, ada diantara warga di Pucuk Gunung Itam, ini yang berbulan-bulan tidak menikmati rasanya garam atau pun manisnya gula. Mereka biasa hidup dalam penderitaan di tengah hutan belantara, karena ketakutan tadi.

Hanya Bisa Mengaji, Berobatpun dari Tanaman Hutan 

Warga pedalaman keturunan Raja Ubiet pun terbiasa menikmati dan memanfaatkan hasil hutan, tetapi tidak merusak hutan, begitu kata mereka.Kesibukan pagi pun di mulai. Pihak laki-laki bekerja ke ladang, sementara sang perempuan disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga, meski sesekali ikut membantu sang suami. 

Sementara itu, sebagian anak kecil lainnya mulai bermain permainan yang biasa mereka lakukan. Tak ada yang beda, selain waktu anak-anak usia sekolah ini, hanya bermain atau mengikuti orang tuanya ke ladang. 

Siang pun tiba, matahari tepat di atas kepala dan embun pun sudah menghilang. Suhu yang biasanya dingin, kini mulai menghangat. Seusai makan siang, mereka kembali bekerja dan menjelang sore, mereka kembali ke rumah masing-masing. 

Malam tiba, giliran anak-anak belajar mengaji dengan lampu penerangan seadanya dan itulah satu-satunya pendidikan yang mereka terima dikarenakan semenjak zaman penjajahan Belanda, tidak ada sekolahan apalagi guru yang mengajarkan mereka baca tulis. 

“Sebenarnya ada anak-anak yang bisa baca tulis, namun hanya sedikit. Mereka bisa baca tulis itu, ketika turun gunung dan menyaksikan sepupu mereka yang berada di Gunung Kong atau Blang Tripa, sudah bisa membaca dan menulis, sehingga yang turun gunung ini pun meminta diajarkan baca tulis. 

Diakui Teuku Raja Keumala, masyarakat yang berada di Gunung Ijo atau Krueng Itam, tidak pernah merasakan bangku sekolah. Mereka bisanya mengaji, karena hanya ada guru mengaji di pedalaman tersebut. Kecuali, ujarnya, keturunan Raja Ubiet yang telah bermukim di Gunung Kong (kuat) atau yang telah berdomisili di Alu Bilie, pemukiman di tepi Jalan Nagan Raya-Meulaboh, mereka telah menerima modernisasi. 

“Masih ingat apa yang dikatakan nek tu alias indatu (tetua Teuku Raja Keumala) bahwa mereka dilarang atau terlarang turun hingga menyeberang sungai Tripa atau yang saat ini, di sebut Gunung Kong. Bisanya kami, turun gunung sebatas Blang Tripa, tempat sebagian warga lainnya membuka pemukiman baru, dimana Pemerintah Aceh membangunkan rumah bantuan untuk keturunan Raja Ubiet disana,” tukasnya lagi. 

Beberapa diantara keturunan Raja Ubiet atau yang mengikuti orang tua Raja Ubiet, Raja Tampuk lari dari kejaran Belanda, memang ada yang bermukim di Gunung Kong. Nah, terangnya, ketika mereka telah menyeberang sungai itu, maka dianggaplah bahwa mereka telah melanggar petuah orang tua, namun tidak serta merta dikucilkan. 

Selain pendidikan yang tidak ada sama sekali, kecuali mengaji. Apabila berobat pun, masyarakat hanya ke dukun setempat yang meramu obat-obatannya dari tanaman di sekitar hutan. Menurut Teuku Raja Keumala, sama dengan sekolahan, maka tidak ada perawat atau mantri yang dipercaya masyarakat untuk mengobati sakit mereka. 

Biasanya, sakit yang diderita pun hanya seputar gatal-gatal atau penyakit kulit, sakit perut, kepala, luka-luka di gigit serangga atau luka gores. Tidak ada sakit yang aneh-aneh, seperti penyakit orang kotaan, tambah Teuku Saudi, sepupunya Teuku Raja Keumala yang sudah lama bermukim di Kota Banda Aceh. 

Dituturkan Teuku Saudi, sebagian besar keturunan Raja Ubiet, mulai terkontaminasi kemajuan atau modernisasi, tetapi tidak sedikit pula yang masih bertahan dengan kehidupan alamiah di tengah hutan rimba. Keteguhan masyarakat yang masih bertahan di Gunung Ijo atau hulu Krueng Itam, dikarenakan masih mempertahankan petuah orang tua, agar tidak melewati daerah terlarang.

Gajah Pemalu 

Diceritakan Teuku Raja Keumala, ketika menyusuri jalan setapak menuju Pucuk Gunung Ijo atau Krueng Itam, mereka harus berjalan seharian penuh di tepi sungai Krueng Tripa yang sebagian besarnya agak mendatar. Setelah menyeberangi Sungai Tripa yang dalamnya hanya setinggi dada seorang pria, maka warga setempat, masih harus menyusuri tepian Sungai Krueng Itam.

Keesokan harinya, jalannya akan mendaki gunung, menuruni lembah, mendaki lagi dan menuruni gunung lagi, seharian penuh, hingga menuju pucuk Gunung Ijo yang letaknya berbatasan dengan Aceh tengah dan Pidie Jaya. “Tak ada akses jalan ke tempat lainnya,” tukas Teuku Raja Keumala.

Ketika menyusuri jalan dua hari dua malam menuju pemukiman warga pedalaman keturunan Raja Ubiet, mereka kerap menemukan bekas jejak tapak harimau yang disebut warga setempat dengan julukan ‘raja’. Begitu juga dengan feses atau tapak gajah. Malahan, ujarnya lagi, beberapa di antara warga disitu, pernah berpapasan dengan gajah, tetapi gajahnya tertunduk malu, ketika mereka melintas.

Raja Keumala menilai kalau gajah itu merupakan gajah aulia penunggu gunung setempat. Dan lagi, ucapnya, binatang buas yang kerap mereka temui feses dan tapaknya, tidak pernah menggangu begitu juga sebaliknya, mereka tidak mengganggu binatang tersebut.
Teuku Raja Keumala bilang, perkara menikah, mereka masih menganut sistem lama, dimana kalau tertarik terhadap seorang perempuan, maka si pria bersama orang tua, langsung meminang dan begitu si orang tua perempuan setuju, maka hari itu juga pernikahan dilangsungkan, tanpa saling kenal terlebih dahulu.

Tradisi ini, masih melekat hingga kini di masyarakat yang menghuni pedalaman dan Blang Tripa, tetapi tidak yang di Gunung Kong. Apalagi, tuan kadi yang di Gunung Kong, kata Teuku Raja Keumala, kesohor ‘tukang’ menikahkan orang yang di daerah asal si pasangan, tidak disetujui, sehingga pasangan itu pun, nikah siri.

Raja tidak mengetahui kalau pemerintah pusat bakal mengeluarkan peraturan pelarangan nikah siri. Menurutnya, mereka di pedalaman lambat mendapatkan informasi dikarenakan tidak adanya fasilitas penyampai pesan seperti masyarakat di kota. 

Diundang Wakil Gubernur

Diungkapkan Wagub, Teuku Raja Keumala, baru tiga kali turun ke Ibukota Provinsi. Pertama kali, ketika diundang Gubernur Ibrahim Hasan tahun 1980-an, lalu, semasa konflik, dan ketiga ketika mengunjungi Wagub, ucapnya.

“Saya mengundang Teuku Raja Keumala, kemari, meminta kepadanya agar ikut mengawasi pembangunan bantuan rumah juga yang lainnya, supaya proyeknya berjalan lancar dan tidak ditinggalkan seperti yang lalu-lalu,” tukasnya.

Setelah berbicara panjang lebar dengan Wagub di ruang kerjanya. Wagub pun berkata kepada Teuku Raja Keumala, mau membelikan sepatu atau sandal, untuknya. Sambil tersenyum simpul, Teuku Raja Keumala, mengiyakan tetapi setelah sampai di Pucuk Gunung Itam, akan dilepas kembali.

Ketika disinggung senjata yang masih mereka miliki? Teuku Raja Keumala mengungkapkan, mereka masih menyimpan pedang panjang, peninggalan semasa perang dulu. Jumlahnya pun termasuk banyak, begitu juga rencong.

Sedangkan pistol Aceh, telah diserahkan kepada Polsek setempat, ketika damai MoU Helsinki, lalu. Padahal, kata Wagub, pistol itu merupakan senjata orang Aceh dari abad ke 15 dan sangat disayangkan senjata zaman dulu itu, tidak diserahkan kembali ke museum.

Ketika Raja Keumala melihat foto dirinya di koran ini. Ia dengan seksama memperhatikan, lama matanya tidak berpindah dari koran tersebut. Entahlah apa yang ada dipikirnnya, tetapi sebuah senyum pun tersungging di bibirnya, tatkala sepupunya mengatakan, dia telah masuk koran. Beberapa kali dicobanya memegang koran itu. Senyum pun kembali tersungging. []


Misteri Hilangnya Kitab Tua “Idharul Haq” Peurlak

Misteri Hilangnya Kitab Tu


Penulis oleh Nab Bahany As

Menguak sejarah kerajaan Islam Peurlak

PERLAK, di Aceh Timur disebut sebagai kerajaan Islam pertama (tertua) di Nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Kesimpulan dari Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara tahun 1980, di Rantau Kualasimpang itu didasarkan pada satu dokumen tertua bernama kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak, karangan Abu Ishak Al-Makarani Sulaiman Al-Pasy. Itu yang menyisahkan pertanyaan bagi sebagian sejarawan mengenai kebenaran sejarah itu.

Kitab Idharul Haq yang dijadikan sumber satu-satunya. Sebagian sejarawan meragukannya. Apalagi kitab Idharul Haq yang diperlihatkan dalam seminar itu katanya bukan dalam bentuk asli, tidak utuh lagi melainkan hanya lembaran lepas. Kitab itu sendiri masih misteri, karena sampai sekarang belum ditemukan dalam bentuk aslinya. Sehingga ada yang mengatakan kita Idharul Haq ini hanya satu rekayasa sejarah untuk menguatkan pendapat bahwa berdasarkan kitab itu benar kerajaan Islam pertama di Aceh dan Nusantara adalah kerajaan Islam Perlak.

Banyak peneliti sejarah kritis, meragukan Perlak itu sebagai tempat pertama berdirinya kerajaan Islam besar di Aceh. Diperkuat dengan belum adanya ditemukan artevak-artevak atau situs-situs tertua peninggalan sejarah. Sehingga para peneliti lebih cenderung menyimpulkan kerajaan Islam pertama di Aceh dan Nusantara adalah kerajaan Islam Samudra Pasai yang terdapat di Aceh Utara. Banyak bukti yang meyakinkan, baik dalam bentuk teks maupun benda-benda arkeologis lainnya. Seperti mata uang dirham pasai dan batu-batu nisan yang bertuliskan tahun wafatnya para Sultan kerajaan Islam Samudra Pasai.

Keraguan para sejarawan tentang Perlak sebagai bekas kerajaan Islam pertama yang hanya mengambil dari sumber kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak, perlu ditelaah lebih jauh. Ada pengalaman ketika saya melakukan kegiatan sosial di Kabupaten Aceh Tengah, tepatnya di Desa Sukajadi, Kecamatan Bukit, tahun 1989. Ketika itu saya ditampung di rumah seorang warga bernama Mitra. Ia pegawai negeri di Kantor Camat Kecamatan Bukit. Rumahnya di Desa Suka Jadi lumayan besar untuk ukuran rumah desa yang terletak di puncak bukit Suka Jadi yang mencirikan rumah khas penduduk tanah gayo.

Naskah Idharul Haq

Selama berada di desa itu, saya bertemu dengan seseorang yang berusia lanjut. Tamu itu diantar kedua anaknya, dan pak Mitra selaku pemilik rumah memperkenalkan tamu tersebut kepada saya bahwa itu adalah kakeknya sekaligus gurunya dalam menuntun ilmu makrifat. “Namanya Tgk. Abdul Samad, tapi kami sekeluarga dan orang-orang di Aceh tengah ini memanggil beliau dengan nama Kek Adu”, jelas Mitra yang menambahkan bahwa kakeknya itu adalah tokoh adat di tanah Gayo, tapi beliau sudah lama tidak tinggal lagi di Aceh Tengah. “Beliau sekarang tinggal di Pesanten Matang Rubek Panton Labu Aceh Utara. Hanya sesekali pulang ke Aceh Tengah untuk menjenguk cucu dan saudara-saudaranya yang lain,” tutur Mitra saat itu.

Tgk. Abdul Samad alias Kek Adu yang saat itu duduk agak di sudut ruangan, hanya sesekali mengiyakan apa yang dijelaskan cucunya kepada saya. Kami mengobrol mulai seputar agama terutama soal makrifat hingga masalah sejarah kerajaan Linge dan hubungannya dengan kerajaan Islam Perlak di Aceh. Kek Adu menjelaskan panjang lebar tentang pertalian Kerajaan Islam Perlak dengan kerajaan Linge Aceh Tengah.

Ternyata ia juga ikut dalam seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara tahun 1980 di Rantau Kualasimpang Aceh Timur itu. Maka ia pun mengeluarkan satu kitab dari tasnya. “Kitab ini namanya Idharul Haq, kemana saya pergi sekarang saya bawa, karena sedang saya alihbahasakan dari bahasa Melayu Jawi ke dalam bahasa Indonesia,” katanya sambil memperlihatkan sebagian hasil translit isi kitab itu dari huruf Jawi ke dalam huruf latin.

Saya kaget ketika ia menyebut kitab itu bernama Idharul Haq. Kitab berukuran 30 x 25 cm yang tebalnya kira sama-sama dengan Alquran, saya periksa. Tampak dari kertasnya sudah usang, dan saya menduga kitan itu adalah hasil foto kopy dari kitab yang aslinya. Karena kertasnya persis sama dengan kertas yang dipakai sekarang ini. Tgk. Abul Samad pun mengaku kalau kitab itu adalah kopian dari yang aslinya. Alasannya karena ia sedang melakukan penerjemahan, sehingga dikopi agar mudah dibawa kemana pun.

Lepas asli atau tidak, bahwa kitab Idharul Haq yang pernah diragukan keberadaannya itu sebagai dokumen yang mengungkapkan sejarah kerajaan Islam Perlak, sedikitnya sudah memberikan titik terang. Hanya saja saya tak diizinkan mengkopi kitab itu oleh Tgk. Abdul Samad, karena kitab Idharul Haq itu belum selesai diterjemahkan dari huruf Arab Jawi ke dalam huruf latin.

Menginat kitab Idharul Haq ini begitu penting dalam menyingkap sejarah Islam di Aceh, saya pernah menemui Kepala Museum Negeri Aceh (saat itu Drs Nasruddin Sulaiman), menyarankan agar kitab Idharul Haq yang berada di tangan seorang tokoh adat di Aceh Tengah, dapat dicopy sekaligus menjadi koleksi dan dokumen sejarah di Meseum Aceh. Namun saran itu tak direspon pejabat Meseum dengan dalih, bahwa Meseum Negeri Aceh tidak punya dana untuk mengirim Timnya menyelidiki kitab tersebut.

Menggali ulang

Kitab Tua
Upaya Yayasan Monisa yang (saat itu) dipimpin Drs. Badlisyah yang didukung Pemkab Aceh Timur pernah akan menggali kembali keabsahan sejarah kerajaan Islam Perlak sebagai kelanjutan seminar tahuan 80-an.

Salah satu situs sejarah yang diteliti adalah batu nisan pada makam Sultan Ala ad Din Said Maulana Abdul Aziz Syah yang terdapat di komplek Bandar Khalifah, yang disebut-sebut sebagai Sulthan pertama kerajaan Islam Perlak Penggalian nisan yang dipimpin Deddy Satria, alumnus Arkeologi UGM, tidak membuahkan hasil sebagaimana diduga.

Bahwa batu nisan makam Sultan Maulana Said Abdul Azis Syah diyakini ada tulisan yang menerangkan nama yang punya makan serta tahun meninggalnya. Di nisan itu hanya berupa pahatan-pahatan yang memang agak mirip dengan bentuk tulisan-tulisan berhuruf Arab. 

Menurut Deddy Satria bentuk batu nisan pada makam Sultan Maulana Abdul Aziz Syah yang kami gali itu ada kemiripannya dengan nisan-nisan yang terdapat di komplek makam raja-raja Samudera Pasai, dimana bentuk nisan seperti itu diperkirakan hasil produksi antara abad ke 14 dan 15 Masehi. Artinya, bahwa batu nisan pada makam Sultan Ala ad Din Said Maulana Abdul Aziz Syah di Komplek Bandar Khlalifah Perlak, bukanlah bentuk batu nisan tertua di Aceh, karena menurut Arkeolog Deddy Satria bentuk batu nisan seperti itu juga ditemukan di komplek makam raja-raja di Samudera Pasai Aceh Utara.

Temuan Arkeologis ini tentu sedikit mengewakan dari apa yang telah menjadi kesimpulan seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Nusantara tahun 1980, yang menyatakan Perlak adalah pusat kerajaan Islam tertua di Nusantara dengan Sultan pertamanya Sultan Ala ad Din Said Maulana Abdul Aziz Syah. Karena adanya kesamaan batu nisan Sultan Maulana Abdul Aziz Syah dengan batu nisan yang terdapat di komplek makam raja-raja Samudera Pasai. Maka jelas Perlak sebagai kerajaan Islam tertua diragukan. 

Sekarang tinggal memburu kitab Idharul Haq, yang sebelumnya dijadikan sumber sejarah. Kitab ini akan membuka tabir kebenaran. Maka pihak yayasan Monisa pun memandu kami menuju Matang Rubek (sekitar 28 kilometer arah Selatan Kota Panton Labu) untuk menenui Tgk. Abdul Samad (Kek Adu) yang pernah memperlihatkan kitab Idharul Haq kepada saya 20 tahun yang lalu di rumah cucunya Desa Sukajadi Aceh Tengah. Selama 30 menit kami berhasil sampai di Pesanten, tempak Kek Adu berhidmat.

Kami langsung menemui salah seorang santri menyampaikan hasrat kami untuk menemui pimpinan Pesantren tersebut. Karena dalam pekiran kami yang memimpin pesantren itu adalah Tgk. Abdul Samad alias Kek Adu yang pernah memperlihatkan kitab Idharul Haq pada saya 20 tahun yang lalu di Desa Suka Jadi Aceh Tengah.

Namun setelah bertemu pimpinan Pesantren, mengatakan kepada kami bahwa beliau (Kek Adu), sudah lama meninggal dunia. Informasi meninggalnya Tgk Abdul Samad ini sekaligus memupuskan harapan kami dalam mencari kembali jejak kitab Idharul Haq yang pernah diperlihatkan Tgk Abdul Samad ketika beliau masih hidup dan bertemu saya 20 tahun lalu di Desa Suka Jadi Aceh Tengah.

Membongkar dokumen keluarga

Kitab Idharul Haq adalah kunci sejarah kebenaran Kerajaan Islam Perlak. Maka awal April 2009 lalu, saya kembali menemui cucu almarhum Kek Adu atau Tgk Abdul Samad yang tinggal di Desa Suka Jadi Aceh Tengah.

Singkat cerita saya kembali kecewa karena begitu sampai di rumah yang saya tuju di Desa Suka Jadi, ternyata cucu almarhun dari Kek Adu bernama Mitra tidak lagi tinggal di rumah yang pernah saya tinggal 20 tahun yang lalu. Rumah tersebut sudah diberikan kepada anaknya. Sedangkan Mitra sendiri (cucu dari Kek Adu) sudah lama pindah ke kota Takengen.

Alhamdulillah, alamatnya saya dapatkan dan kami bertemu kembali dengan cucu Kek Adu. Namun setelah menyampaikan maksud untuk mendapatkan kitab Idharul Haq, ternyata menurut Mitra, bahwa kitab kakeknya banyak diambil sahabatnya di Lhokseumawe, dan kitab yang dimaksud tidak dititipkan pada keluarga.

“Seperti kitab sejarah kerajaan Lingge, dulu ada sama kakek. Dan khusus kitab Idharul Haq ini ia tidak tahu apakah ada dalam dokumen yang telah disimpan keluarga di Isak Aceh Tengah, atau kitab itu sudah diberikan kepada sahabatnya di Lhokseumawe semasa beliau hidup,” ujar Mitra.

Dimana kitab Idharul Haq berada?